Showing posts with label Kebijakan Lingkungan. Show all posts
Showing posts with label Kebijakan Lingkungan. Show all posts

Thursday, December 20, 2012

ISO 14000 dan Audit Lingkungan

Pengertian dan Jenis Seri ISO 14000

Program-program lingkungan di Indonesia dirancang untuk dapat memenuhi keperluan masa kini dan dapat dikembangkan lebih lanjut untuk keperluan masa yang akan datang. Program ini juga untuk mengakomodasikan adanya perubahan situasi dan kondisi baik Nasional maupun Internasional. Program-program Lingkungan di Indonesia yang dikoordinasikan oleh Bapedal meliputi :
  1. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL)
  2. Program Kali Bersih (PROKASIH).
  3. Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
  4. ADIPURA
  5. Produksi Bersih (PRODUKSIH)
  6. Program Penilaian Kinerja Lingkungan (PROPER)
  7. Pengembangan Audit Lingkungan
  8. Pengendalian Dampak Skala Kecil
  9. Pengendalian Kerusakan Lingkungan
  10. Pengendalian Pencemaran Kerja
  11. Pengendalian Pencemaran Laut dan Pesisir
  12. Pembinaan Laboratorium Lingkungan
  13. Pengembangan Sumber Daya Manusia dan di Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan
  14. Ekolabel
  15. Sistem Informasi Bapedal
  16. Pengembangan Instrumen-instrumen Ekonomi
Pada saat ini khususnya di pasar Eropa telah menuntut bahwa produk kayu harus diambil dari hutan yang dikelola secara lestari dengan pola manajemen yang ramah lingkungan. Inisiatif pasar demikian ini telah mendorong timbulnya standart pengelolaan lingkungan seperti :- Kriteria Emas (ECO-Manajement and Audit Scheme).- Indicator FSC (Forest Stewardship Council).- ISO-14000

Jaminan bahwa suatu kegiatan bisnis telah dikelola secara akrab lingkungan dapat ditunjukkan melalui adanya Sertifikat atau Label Lingkungan. Dalam hal ini ISO telah membutihkan bahwa Sistem Sertifikasi mampu memberikan stabilisasi tata kerja dalam upaya meraih hasil yang konsisten. Oleh karena itu ISO-14000 Seri memberikan panduan pengelolaan lingkungan bagi aktivitas bisnis.

Penerapan ISO-14000 Seri

Perkembangan yang cepat dari ISO-14000 Seri berdampak besar pada kalangan pemerintah dan dunia usaha/industri karena penerapan standart tersebut akan mempengaruhi kompetisi perdangan di pasar Internasional. Perkembangan kegiatan pengawasan lingkungan ditingkat Internasional akan berdampak pada program-program tingakat Nasional. Justru karena itu penerapan ISO-14000 Seri bukanlah impian yang tidak dapat diwujudkan, tetapi hal itu dapat dan harus diwujudkan oleh seluruh industri dengan melibatkan semua pihak yang terikat dan manajemen yang rapi dengan dibantu oleh Bapedal guna menghadapi dan menerima transisi ini.

Pengertian ISO- 14000 merupakan Standart Internasional tentang Manajemen Lingkungan dan keamanan operasional yang dikembangkan oleh International Organization For Standardization (ISO).Standart ini dikembangkan oleh wakil dari 36 negara dan disetujui, oleh 112 negara anggota ISO


Latar Belakang Perlunya Penerapan ISO-14000
  1. Pada prinsipnya seluruh elemen ISO-14000 dapat diterapkan pada berbagai bentuk perusahaan terutama yang produk atau layanannya/proses produksinya mempunyai potensi menimbulkan dampak.
  2. Penerapan ISO-14000 di industri perkayuan sangat dimungkinkan dengan mengingat bahwa pengadaan bahan baku, proses produksi dan produk/layanannya mempunyai potensi menimbulkan dampak lingkungan.
  3. Industri perkayuan mempunyai aspek organisasi dan aspek produk sangat sensitif terdahap kemungkinan permintaan negara konsumen atas sertifikasi ISO-14000

Beberapa Seri ISO-14000 meliputi :
  1. ISO 14001 : Sistem Manajemen Lingkungan
  2. ISO 14010 – 14015 : Audit Lingkungan
  3. ISO 14020 – 14024 : Label Lingkungan
  4. ISO 14031 : Evaluasi Kinerja Lingkungan
  5. ISO 14040 – 14044 : Assessment/Analisa Berkelanjutan
  6. ISO 14060 : Aspek Lingkungan dari Produk
ISO-14000 : Semua Sistem Manajemen Lingkungan yang dapat memberikan jaminan (bukti) kepada produsen dan konsumen, bahwa dengan menerapkan sistem tersebut produk yang dihasilkan/dikonsumsi, limbah, produk bekas pakai ataupun layanannya sudah melalui suatu proses yang memperhatikan kaidah-kaidah atau upaya-upaya pengelolaan lingkungan

ISO-14001: Bagian dari seri ISO-14000 yang merupakan suatu sistem yang mengorganisasikan Kebijakan Lingkungan, perencanaan, implementasi, pemeriksaan, tindakan koreksi dan tinjauan manajemen perusahaan dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan lingkungan sehingga tercapai perbaikan lingkungan yang bersifat terus menerus atau berkesinambungan

ISO-1410 s/d 14015: Suatu alat manajemen untuk menguji efektifitas atau kinerja perusahaan dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan lingkungan dengan menggunakan kriteria audit yang disepakati, didokumentasikan dan hasilnya dikomunikasikan kepada klien (ISO Audit Lingkungan)



 

Terdapat beberapa keuntungan Sertifikasi ISO-14000, antara lain :
  1. Sebagai Perlindungan Lingkungan seperti Mengurangi/meminimalisasi limbah, Optimalisasi penggunaan sumber-sumber alam, Membantu mengatasi isu-isu lingkungan global. 
  2. Selain itu ISO-14000 akan mengurangi sekecil mungkin timbulnya perbedaan perbedaan pembiayaan lingkungan oleh sebab perbedaan sistem/geografi. 
  3. Dengan menggunakan Sertifikat ISO-14000 dalam pengelolaan lingkungan Terbuka kesempatan kemampu telusuran dan kesesuaian dokumen-dokumen dalam mendukung peraturan yang ada.
  4. Dengan adanya bermacam-macam tuntutan terhadap perusahaan tentang pengelolaan lingkungan hidup, sistem manajemen lingkungan akan membuat pengelolaan lebih efektif dan mampu berkiprah dalam dunia percaturan Internasional. 5. Memiliki Kekuatan Pasar dengan Mampu memasuki pasar dengan produk ramah lingkungan,  Meningkatkan peran pasar (Market Share),  Memenuhi persyaratan pelanggan,  Membuka peluang investasi.
  5. Dasar utama dalam penekanan biaya adalah mengurangi penanganan bahan kimia dan sisa-sisa/limbah lainnya. Lebih sedikit bahan kimia/limbah, akan semakin sedikit biaya dan semakin tinggi tingkat mutu air/tanah. Dengan ISO-14000 yang kesemuanya didasarkan penggunaan standart, maka diharapkan semakin kecil peluang menyimpangnya operasi. Biaya-biaya yang dapat dikurangi meliputi : Biaya-biaya kesalahan, Biaya operasional yang terakumulasi, Biaya taksiran
  6. “Sistem” akan melindungi atau meminimumkan akibat ke lingkungan, dan juga meminimumkan akibat buruk bagi karyawan, pengurangan luka dan penyakit jika perusahaan mengadopsi sistem manajemen lingkungan ISO-14000
  7. Dalam “Gall-up” pool 1994, di dapat bahwa warga di 24 negara (industri & sedang berkembang) mempertimbangkan perlindungan lingkungan lebih penting dari pada pertumbuhan ekonomi. Jika perusahaan mengembangkan program pengelolaan lingkungan, ini berarti mengembangkan hubungan kemasyarakatan
  8. Dengan dimilikinya sertifikat ISO-14001, pelanggan akan merasa lebih aman dan lingkungannya terlindungi. Hal ini akan meyakinkan pelanggan bahwa pemasok peduli lingkungan dan mempunyai dokumen yang sesuai untuk mendukung pernyataan tersebut. 
  9. Diwaktu yang lalu, departemen lingkungan dipandang oleh beberapa pwrusahaan sebagai kegiatan pemborosan biaya. dengan ISO-14000 departemen lingkungan dipandang positif dan meru[pajkan konponen penting dalam perusahaan. keseluruhan proses dalam mencapai sertifikasi ISO-14000 akan merangsang manajemen lebih berkembang dan lebih menghargai pengelolaan lingkungan. 



Wednesday, December 12, 2012

Penyehatan Lingkungan

Catatan Tentang Kebijakan Program penyehatan Lingkungan

Beberapa hal yang mendasari perlunya pembaruan kebijakan pembangunan penyehatan lingkungan tidak terlepas dari permasalahan yang dihadapi dan peluang yang ada dalam sektor air minum dan penyehatan lingkungan serta pengalaman (lesson learned) pelaksanaan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan.

Dari perkembangan pelaksanaan penyehatan lingkungan selama ini, terdapat beberapa kemajuan yang diperoleh, misalnya peningkatan cakupan penyehatan lingkungan dan secara tidak langsung meningkatkan derajat kesehatan. Namun, masih terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi pada penyediaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan yaitu :

1. Kurang efektif dan efisiennya investasi yang telah dilakukan pada pembangunan prasarana dan sarana penyehatan lingkungan.
Dari segi kuantitas pelayanan, lingkup pembangunan penyehatan lingkungan masih terbatas. Selain itu cakupan pelayanan juga masih terbatas sehingga tidak mampu mengimbangi laju kebutuhan akibat pertambahan jumlah penduduk. Hingga saat ini diperkirakan masih terdapat 100 juta penduduk Indonesia yang belum memiliki kemudahan terhadap pelayanan penyehatan lingkungan yang memadai. Sebagian besar masyarakat yang tidak memiliki kemudahan tersebut adalah masyarakat miskin dan masyarakat yang bertempat di kawasan perdesaan. Kecenderungan ini terus meningkat setiap tahunnya.

Pengalaman masa lalu juga menunjukkan adanya prasarana dan sarana penyehatan lingkungan terbangun yang tidak dapat berfungsi secara optimal. Salah satu penyebabnya adalah tidak dilibatkannya masyarakat sasaran, baik pada perencanaan, konstruksi ataupun pada kegiatan operasi dan pemeliharaan. Selain itu, pilihan teknologi yang terbatas mempersulit masyarakat untuk dapat menentukan prasarana dan sarana yang hendak dibangun dan digunakan di daerahnya yang sesuai dengan kebutuhan, budaya (kultur) setempat, kemampuan masyarakat untuk mengelola prasarana dan kondisi fisik daerah tersebut.

Kurangnya keterlibatan masyarakat juga menjadikan pelayanan prasarana dan sarana penyehatan lingkungan yang terbangun menjadi tidak berkelanjutan, tidak dapat berfungsi dengan baik, dan tidak adanya perhatian masyarakat untuk menjaga keberlanjutan pelayanan prasarana dan sarana. Hal ini mengakibatkan prasarana dan sarana tersebut tidak memberikan manfaat bagi masyarakat pengguna secara berkelanjutan.

Investasi prasarana dan sarana penyehatan lingkungan pada saat itu yang berorientasi pada supply driven juga membawa dampak kepada rendahnya efektivitas prasarana dan sarana yang dibangun. Tidak sedikit investasi prasarana dan sarana yang tidak dimanfaatkan oleh masyarakat karena mereka tidak membutuhkan, sebaliknya banyak masyarakat yang membutuhkan pelayanan prasarana dan sarana namun tidak mendapatkan pelayanan.

2. Keterbatasan kemampuan pemerintah

Pola pembiayaan sampai saat ini masih bertumpu pada anggaran pemerintah, khususnya anggaran pemerintah pusat. Kemampuan pemerintah pusat di masa yang akan datang untuk menyediakan anggaran semakin berkurang. Untuk itu, diperlukan inovasi pola pembiayaan untuk menggali berbagai sumber pembiayaan yang belum dimanfaatkan (hidden potential), khususnya sumber pembiayaan yang berasal dari pemerintah daerah dan masyarakat pengguna. Untuk mengoptimalkan sumber pembiayaan tersebut diperlukan sistem berkelanjutan (sustainable system) sehingga potensi tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.

3. Belum tersedianya kebijakan dan peraturan perundangan yang mengatur pemanfaatan potensi tersembunyi (hidden potential) yang ada dalam masyarakat.

Kapasitas masyarakat dalam menyediakan prasarana dan sarana penyehatan lingkungan saat ini belum dapat dioptimalkan karena belum adanya kebijakan dan peraturan perundangan untuk menggerakkan potensi tersebut. Sebagai contoh belum adanya kebijakan dan peraturan perundangan mengenai pemindahan aset (transfer asset) dari pemerintah kepada masyarakat.

4. Penyehatan lingkungan belum menjadi perhatian dan prioritas.


Rendahnya kepedulian masyarakat dan pemerintah terhadap peranan penyehatan lingkungan dalam mendukung kualitas lingkungan menyebabkan masih rendahnya cakupan pelayanan penyehatan lingkungan. Kondisi ini antara lain tercermin pada pelayanan air limbah terpusat di beberapa kota besar yang masih menghadapi kendala dalam pengelolaannya. Hal ini terkait dengan rendahnya kesediaan membayar (willingness to pay) dari masyarakat terhadap pelayanan air limbah terpusat dan masih rendahnya kualitas pengelolaan prasarana dan sarana air limbah terpusat. Kondisi yang sama juga terjadi pada jamban (sanitasi dasar), khususnya bagi masyarakat perdesaan. Kebutuhan masyarakat terhadap jamban masih rendah.

Hal ini disebabkan ketidaktahuan mereka terhadap pentingnya hidup bersih dan sehat, yang tercermin dari perilaku masyarakat yang hingga sekarang masih banyak yang buang air besar di sungai, kebun, sawah bahkan dikantong plastik yang kemudian dibuang di sembarang tempat. Permasalahan juga dihadapi dalam penanganan persampahan dan drainase. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi serta meningkatnya kawasan terbangun membawa dampak kepada meningkatnya jumlah timbunan sampah, semakin terbatasnya lahan yang dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan sampah serta belum optimalnya pendekatan 3 R (reduce, reuse and recycle)1 dalam pengelolaan sampah. Dampak berikutnya adalah semakin luasnya daerah genangan, berkurangnya lahan resapan dan pemanfaatan saluran drainase sebagai tempat pembuangan sampah.

Beberapa pengalaman yang dapat ditarik dari pelaksanaan program dan proyek penyehatan lingkungan yang dibiayai dengan dana luar negeri dan APBN, adalah sebagai berikut :

  • Pembangunan pelayanan penyehatan lingkungan yang melibatkan masyarakat, memiliki efektivitas dan keberlanjutan pelayanan yang lebih baik.
  • Pengelolaan prasarana dan sarana yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat pengguna dalam pengambilan keputusan dan kelembagaan, menghasilkan partisipasi masyarakat yang lebih besar pada pelaksanaan operasi dan pemeliharaan.
  • Keterlibatan aktif perempuan, masyarakat yang kurang beruntung (miskin, cacat dan sebagainya) secara seimbang dalam pengambilan keputusan untuk kegiatan operasional dan pemeliharaan, menghasilkan efektivitas penggunaan dan keberlanjutan pelayanan yang lebih tinggi.
  • Semakin mudah penggunaan prasarana dan sarana penyehatan lingkungan (tepat guna), maka semakin tinggi efektivitas penggunaan dan keberlanjutan pelayanan prasarana dan sarana.
  • Perlunya kampanye perubahan perilaku hidup bersih dan sehat dalam pelaksanaan program penyehatan lingkungan.
  • Semakin banyak pilihan teknologi yang ditawarkan dan semakin besar kesempatan masyarakat untuk memilih sesuai dengan pengetahuan dan kemampuannya, maka semakin besar kemungkinan terpenuhinya kebutuhan masyarakat dan semakin tinggi efektivitas dan keberlanjutan pemanfaatan prasarana dan sarana.
  • Efektivitas penggunaan dan keberlanjutan dapat tercapai apabila pilihan pelayanan dan konsekuensi biayanya ditentukan langsung oleh masyarakat di tingkat rumah tangga. Kontribusi pembangunan ditentukan berdasarkan jenis pelayanan dan pembentukan unit pengelolaan dilakukan secara demokratis.
  • Pengguna prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan mempunyai kemampuan (ability) untuk membayar setiap jenis pelayanan penyehatan lingkungan sejauh hal tersebut sesuai dengan kebutuhan. Mereka sangat peduli akan kualitas dan bersedia membayar lebih asalkan pelayanan memenuhi kebutuhan.
Dengan menyadari pentingnya keterlibatan masyarakat sasaran pada tahapan pembangunan maka pendekatan yang diterapkan adalah Demand Responsive Approach (DRA) atau Pendekatan Tanggap Kebutuhan (PTK)3. Berdasarkan beberapa pengalaman penerapan pendekatan tersebut kendala yang dihadapi adalah :
  • Tidak adanya kerangka kebijakan yang disepakati oleh semua pihak yang berkepentingan (stakeholders), seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, negara dan lembaga keuangan pemberi bantuan dan pinjaman, serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam menerapkan PTK.
  • Adanya penolakan, baik langsung maupun tidak langsung, dari pemerintah di berbagai tingkatan maupun lintas sektor, negara dan lembaga keuangan pemberi bantuan dan pinjaman, maupun masyarakat sendiri dalam menerapkan PTK.
  • Terbatasnya informasi, kemampuan teknis dan keuangan pada setiap stakeholder, khususnya pemerintah maupun LSM.
  • Lambatnya proses birokrasi serta kakunya prosedur pembiayaan dan pengadaan tenaga pendukung kegiatan PTK.
  • Membutuhkan waktu yang relatif lama dan dana fasilitasi yang cukup besar.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka beberapa langkah yang perlu dilaksanakan dalam penerapan pendekatan tanggap kebutuhan adalah :
  • Aspek Kebijakan: Melembagakan PTK dalam mekanisme pembangunan daerah dan pembangunan masyarakat, serta meningkatkan kemampuan pemerintah kabupaten dan kota dalam melaksanakan PTK.
  • Aspek Pendanaan: Menyiapkan perangkat hukum yang mendorong partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pembangunan prasarana dan sarana penyehatan lingkungan, dan mengembangkan sistem pemberdayaan masyarakat untuk mengelola, mengontrol dan mengarahkan sumber-sumber keuangan yang mereka miliki sendiri.
Keberlanjutan merupakan kata kunci dalam penyehatan lingkungan bagi masyarakat, khususnya masyarakat yang bertempat tinggal di kota menengah, kota kecil, dan kawasan perdesaan. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut maka disepakati bahwa pengembangan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan harus mengikuti prinsip Dublin-Rio.

Dalam konteks pembangunan penyehatan lingkungan, prinsip-prinsip Dublin Rio mengandung arti “jika ingin berhasil dalam pembangunan perlu mempertimbangkan berbagai aspek, seperti sosial, teknis, keuangan, kelembagaan, jender, dan lingkungan yang dikelola secara integratif; walaupun masing-masing aspek berbeda karakteristiknya, namun kesemuanya mempunyai tingkat kepentingan yang sama”.

Dalam konteks penyehatan lingkungan, keberlanjutan dapat diartikan sebagai upaya dan kegiatan penyediaan penyehatan lingkungan yang dilakukan untuk dapat memberikan manfaat dan pelayanan kepada masyarakat pengguna secara terus menerus. Keberlanjutan pelayanan penyehatan lingkungan harus dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari pembangunan prasarana dan sarana, operasi, pemeliharaan, pengelolaan, dan pengembangan pelayanan penyehatan lingkungan kepada masyarakat.

Mengingat pemberdayaan masyarakat merupakan alat untuk mencapai tujuan pembangunan penyehatan lingkungan maka perubahan perilaku masyarakat menuju budaya hidup yang lebih sehat serta mendukung keberlanjutan pelayanan penyehatan lingkungan merupakan tolok ukur keberhasilan pembangunan  penyehatan lingkungan. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan untuk menuju pembangunan penyehatan lingkungan yang berkelanjutan adalah :

  • keberlanjutan aspek pembiayaan
  • keberlanjutan aspek teknik
  • keberlanjutan aspek lingkungan hidup
  • keberlanjutan aspek kelembagaan
  • keberlanjutan aspek sosial
Program lingkungan sehat

Tujuan dari program lingkungan sehat adalah: Mewujudkan mutu lingkungan yang lebih sehat melalui pengembangan sistem kewilayahan untuk menggerakkan pembangunan lintas sektor berwawasan kesehatan. Kegiatan pokoknya adalah :

  1. Penyediaan sarana air bersih dan sanitasi dasar.
  2. Pengawasan kualitas lingkungan.
  3. Pengendalian dampak risiko pencemaran lingkungan.
  4. Pengembangan wilayah sehat.
Kebijakan-kebijakannya yakni :
  1. Lingkungan sehat dicapai melalui pengembangan kesehatan wilayah dan ekosistem.
  2. Prioritas kesling diutamakan pada high risk group anak-anak, penduduk miskin, daerah terpencil, perbatasan dan daerah pembangunan.
  3. Mengutamakan preventif dan promotif.
  4. Peran akif masyarakat sejak dari pengenalan masalah, penyusunan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya.
  5. Pengendalian faktor risiko memerlukan kerjasama lintas ekstor, kemitraan dengan swasta dan NGO.
  6. Pengelolaan kesling berdasarkan prinsip good governance, effective, effisien, partisipatif, law enforcement, transparan dan akuntabel.
  7. Sistem informasi kesling dan surveillance dilaksanakan secara terpadu dan menyeluruh. Mengembangkan risk assement dan dampak kesehatan, studi epidemiologi sebagai dasar manajemen dan komunikasi risiko.



Sunday, November 25, 2012

HUBUNGAN LINGKUNGAN ALAM SEMESTA DAN MANUSIA

Keadaan alam semesta (universe) ini tidak cukup terungkap hanya oleh hasil penelitian para saintis mengenai seluk beluk alam semesta ini sedalam-dalamnya, karena alam tetap alam dan manusia yang harus memanfaatkan dan kompromi dengan kekuatan sains alam. Dengan kata lain sebenarnya kita (manusia) satu dengan alam. Gambaran alam semesta dapat diungkapkan sebagai berikut : .......... the universe is sustained by an act of such stupendous and ineffable creativity that it simply cannot be (asked) if the part is creating the whole or the whole is creating the part because the part is the whole. ( Talbot 1991)

Terbukti bahwa nenek moyang manusia atau manusia purbapun dapat mengaplikasikan parascience kompromi dan mengadopsikan diri dengan sains lingkungan alam semesta sekeliling mereka demi kelangsung hidup tanpa menghancurkan ekosistim alam semestanya.

Dalam Alam Semesta terdiri 5 unsur elemen konsep GAIA2, ( Parascience) yaitu :

1. Api ( fire ), adalah simbol efektif kultur bagi seluruh pelosok dunia. Tetapi bagi kaum Kristiani sebagai “Holy Spirit”; sedangkan untuk filosofi Hindu sebagai “Kundalini”—pelayan api yang membangkitkan energi seksual dari pusat

2. Bumi ( earth /Rock ), adalah lapisan-lapisan tanah yang berasal dari pecahan batu-batuan yang secara bergantian terkena perbedaan ekstrim temperatur panas dan dingin dan masuknya air dalam celah-celah batu sehingga akhirnya terfragmentasi menjadi batuan kecil. Manusia memanfaatkan tanah /batu “rock” untuk “sheltering”, dan menghancurkan/membahayakan bumi/batuan untuk memyimpan bahan-bahan “toxic”.

3.Udara (air), sebenarnya dahulu bumi tidak dilapisi atmosfir tetapi melainkan oleh gas Sulphurous dan Methane. Oksigen awal terbentuk dikarenakan oleh sinar ultraviolet mengubah molekul air menjadi hidrogen dan oksigen, kemudian tambahan oksigen lain dihasilkan sebagai akibat proses pernafasan dari founa dan flora dari prose total photosistesis. Tingkat saling ketergantungan terjadi dimana makluk hidup menghirup oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida, sedangkan tumbuh-tumbuhan mengeluarkan oksigen dan menghirup CO2.

Destruktif udara adalah: Polusi Udara; yaitu : polusi udara alamiah (asap kebakaran hutan, dll), polusi udara buatan manusia (industrialisasi dll), polusi udara dalam (macam-macam sumber polusi dari material bangunan interior).

4. Air (water), butir-butir air jatuh ke bumi akan diteruskan ke lapisan yang terdalam sampai pada lapisan air bawah tanah yang akan sejajar dengan ketinggian permukaan air laut. Air diseluruh dunia menempati 97% dan sebagian adalah air laut yang menutupi 1/3 luasan permukaan bumi, dan sisanya 3% yang terdiri dari 2.96% berupa “ice caps dan glacier”; dan hanya 0.06% dari seluruh air di seluruh dunia berfungsi sebagai air bersih yang berguna. (Myers 1985).

5. Ether (aether), adalah radiasi dan energi dari laut dimana dihasilkan untuk mendukung kebutuhan kehidupan, kesehatan, atau kematian bagi seluruh organik di dunia; menahan gayagaya (geoenergetic, electromagnetic, eletrostatic dan gravitational) yang ditujukan pada kita (human) dari bumi, matahari dan planet lain. Bidang medan magnit bumi “geomagnetic” (GMF) di ujung Utara dan Selatan, dan berubah secara teratur akibat dipengaruhi oleh efek Solar Radiasi. Matahari melepaskan “cosmic rays” yang membentuk Solar Wind—gelombang gelombang radiasi yang menghamtam bumi, yang terdiri dari partikel-partikel yang bermuatan (+) & (-), yang akan terpencar ke ujung-ujung bumi begitu bertemu dengan bidang magnit bumi.

Bagi bangunan-bangunan gedung yang berdekatan atau terlintasi “geomagnetic field (GMF) anomalies” dapat mempengaruhi keseimbangan kesehatan manusia (energi tubuh), karena bumi melepaskan “ELF”—Extremely Low Frequency komponen (GMF) secara konstan. Sedangkan “underground water” dan batuan (Rock) akan melepaskan racun “ Radon ” dalam jumlah banyak dimana dapat menyebabkan kesehatan manusia terganggu secara serius.

Sains Lingkungan (Environmental Control Systems)

Mengakomodasi kekuatan lingkungan alam sekitar dengan lingkungan binaan dan habitat fisik manusia (hunian). Faktor-faktor yang dipandang bermanfaat atau tantangan terhadap lingkup binaan hunian manusia yaitu :

1. Prilaku dan karakteristik elemen-elemen alam semesta seperti: udara, matahari, dan air di kaji interaksinya untuk kebutuhan manusia dalam lingkup hunian / bangunan.

2. System bangunan: pengontrolan thermal, pencahayaan, akustik, sirkulasi udara, transportasi vertikal, pengontrolan kebakaran dan penanganan sistim pembuangan.

3. Prilaku thermal dalam bangunan: analisis/ kalkulasi kebutuhan beban pendinginan (cooling) dan pemanasan (heating), ventilasi alam strategi, strategi aplikasi pendinginan/ pemanasan pasip, aktip dan hibrid, strategi aplikasi pencahayaan alami atau buatan.





Saturday, November 24, 2012

LINGKUNGAN KEUANGAN

Lingkungan Keuangan dibagi menjadi 3 yaitu :

• Pasar Keuangan

• Lembaga Keuangan

• Bunga

Pasar
Pasar adalah tempat di mana barang dan jasa diperdagangkan. Pasar keuangan adalah tempat di mana pihak2 yang ingin meminjam dana bertemu dengan pihak2 yang mempunyai surplus dana.

Jenis Pasar Keuangan

• Aktiva fisik vs. Aktiva keuangan

• Pasar uang vs. Pasar modal

• Pasar primer vs. Pasar sekunder

• Pasar spot vs. Pasar futures

• Pasar publik vs. Pasar privat

Pasar Uang & Pasar Modal

    * Pasar uang adalah pasar sekuritas hutang jangka pendek (kurang dari 1 tahun ).
    * Pasar modal adalah pasar untuk saham & hutang jangka panjang (obligasi ).

Hubungannya dg Financing Decision

    * Financing decision (keputusan pendanaan) adalah keputusan mengenai penggunaan sumber dana .
    * Sumber dana :
      – Internal laba operasi
      – Eksternal debt atau equity

Pasar Primer & Pasar Sekunder

    * Pasar primer adalah pasar di mana prsh dapat memperoleh modal baru dgn menjual sekuritas baru
    * Pasar sekunder adalah pasar di mana sekuritas & aktiva lainnya diperdagangkan di antara para investor, setelah diterbitkan oleh perusahaan .

Jenis Perantara Keuangan

• Bank komersial

• Koperasi simpan pinjam

• Perusahaan dana pensiun

• Perusahaan asuransi jiwa

• Perusahaan reksa dana

• Perusahaan leasing

Reksa Dana adalah Wadah yang dipergunakan untuk menghimpun dana dari masyarakat pemodal, untuk selanjutnya diinvestasikan dalam portofolio efek oleh Manajer Investasi.

Efek di Pasar Modal Indonesia

Efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan utang, surat berharga komersial, saham, obligasi, tanda bukti hutang, unit penyertaan kontrak investasi kolektif, kontrak berjangka atas efek, dan setiap derivatif dari efek.

Investasi Pasar Modal

    * Investasi yg dilakukan investor dlm berbagai instrumen keuangan jangka panjang
    * Merupakan sumber dana eksternal bagi perusahaan.

Manfaat Pasar Modal

    * Sumber pendanaan jangka panjang bagi perusahaan.
    * Wahana investasi bagi investor.
    * Leading indicator bagi tren ekonomi negara
    * Penyebaran kepemilikan, meningkatkan keterbukaan & profesionalisme, menciptakan iklim usaha yang sehat.

Return yang Diharapkan Investor

• Dividen

Pembagian keuntungan

• Capital gains

Kenaikan harga saham

Faktor yang Mempengaruhi Cost of Money

• Kesempatan produksi.

• Preferensi waktu konsumsi

• Risiko

• Inflasi

Kesempatan Produksi

• Tingkat pengembalian yang diharapkan investor atas modal yang diinvestasikan

• Tingkat keuntungan / bunga

• Semakin tinggi tingkat pengembalian yang diharapkan maka semakin tinggi cost of money

Preferensi Waktu Konsumsi

• Preferensi konsumsi oleh investor. apakah konsumsi saat ini atau masa depan konsumsi

• Apabila kondisi keuangan jelek , maka konsumsi saat ini tinggi , maka tabungan / investasi akan rendah , tingkat bunga akan tinggi .

Risiko

• Kemungkinan kegagalan investasi di masa depan

• Semakin tinggi risiko , maka semakin tinggi pengembalian yang diminta , maka semakin tinggi cost of money

Inflasi

• Inflasi adalah kecenderungan kenaikan harga di masa depan .

• Menurunnya daya beli dari uang (purchasing power ), maka mengurangi tingkat pengembalian investasi secara real

• Semakin tinggi inflasi , maka semakin tinggi pengembalian yang diminta , maka semakin tinggi cost of money

Penentuan Tingkat Bunga Inflasi Bunga :

• Inflasi yang diharapkan di masa depan .

• Inflasi mengurangi tingkat

• pengembalian investasi secara “real ”.

• Semakin tinggi inflasi , maka semakin tinggi pengembalian yang diminta , maka semakin tinggi tingkat bunga

Kebijakan Bank Sentral

• Mengendalikan jumlah uang beredar

• JUB mempengaruhi tk bunga & inflasi

• Menambah JUB, maka tk bunga turun

• JUB yang meningkat , maka inflasi

• Menambah JUB bisa dengan kebijakan melonggarkan kredit meningkat.

Anggaran Pemerintah

• Defisit anggaran pemerintah ditutup dengan pinjaman atau mencetak uang baru

• Apabila dengan hutang , maka permintaan akan pinjaman naik , & tk bunga naik

• Apabila mencetak uang baru , maka JUB meningkat , & inflasi meningkat

Faktor Internasional

• Defisit perdagangan LN.

• Apabila ditutup dengan hutang , maka permintaan pinjaman naik , maka tk bunga naik .

• Tk bunga LN akan menyebab -kan naiknya tk bunga DN.

Risiko Investasi di Luar Negeri

• Risiko nilai tukar mata uang (kurs ).

• Risiko negara (country risk).

Risiko Nilai Tukar Kurs (Kurs)

• Apabila investasi dilakukan pada mata uang selain Rupiah , maka nilai investasi tergantung pada kurs nilai tukar Rupiah

• Apabila kurs Rupiah menguat , maka nilai investasi meningkat

Risiko Negara ( Country Risk )

• Risiko negara muncul karena berinvestasi atau berbisnis di suatu negara tertentu .

• Tergantung pada situasi perekonomian, politik, & lingkungan sosial .

• Negara dgn situasi yg stabil, akan memberikan iklim investasi yg aman . Maka risiko mjd rendah

Risiko Negara (Country Risk Risk)

• Perubahan peraturan

• Tingkat kepastian hukum

• Kerusuhan

• dsb



Wednesday, November 21, 2012

Ekosistem Bakau dan Terumbu Karang

Karakteristik dan Jenis Ekosistem Lingkungan Pesisir dan Laut

Beberapa ekosistem penting yang terdapat di pesisir dan lautan, yang harus kita ketahui antara lain:
 
Pada Ekosistem lautan terbuka meluas dari dangkalan kontinen ke arah basin lautan hingga dangkalan kontinen yang berbatasan yang luasnya mencapai 17 % dari luas perairan laut. Pada lautan terbuka umumnya miskin nutrisi, dingin, gelap dan dalam. Dasarnya bergumuk, bersifat mobil karena terdapat extrusi gunung api dan pensesaran. Sedimen yang terdapat di dasar laut kebanyakan “calcareous ooze” yang terbentuk oleh sisa kulit binatang renik yang tersuspensi di air laut (cocolithopores dan foraminifera) mendominasi pada kedalaman 4.500 m.

Organisme yang hidup pada laut bebas pada umumnya selain plankton dipermukaan juga terdapat berbagai ikan yang bervariasi menurut kedalamannya dan banyak yang hidup tanpa sinar matahari. Pada tempat tertentu pada laut terbuka menjadi pusat berkumpulnya ikan karena pada tersebut terjadi proses “upwelling” (umblan). Proses “upwelling” adalah proses gerakan air dari tempat yang relatif dalam ke atas (daerah yang terkena sinar matahari). Geraknya paralel dengan kedalamannya dan tegak lurus terhadap permukaan air laut. Proses “upwelling” tersebut membawa makanan dari bawah (tempat lain) yang diperlukan untuk binatang laut (ikan). Proses “upwelling” terjadi sebagai berikut :

  • Arus laut dalam yang membentur igir dasar laut, yang kemudian dipantulkan ke atas;
  • Apabila pada bagian laut yang airnya bergerak saling menjauhi, kemudian kekosongan yang ditimbulkannya terisi oleh air dari bawah;
  • Apabila air tertarik ke arah laut oleh angin, kemudian kekosongan terisi oleh “upwelling”.
  • Laut bebas menjadi sarana lalu – lintas kapal – kapal besar sehingga sering timbul proses pencemaran. Pencemaran yang terjadi di laut bebas antara lain disebabkan oleh : polusi minyak, limbah radioaktif, dan polusi material. Polusi minyak terutama diakibatkan oleh tangki minyak yang pecah atau tenggelam, sebabnya antara lain kapal sudah tua, intrumen navigasi rusak dan awak kapal yang kurang hati – hati.

Terumbu Karang

Terumbu adalah suatu komunitas biologis yang tumbuh pada dasar batu gamping yang resisten terhadap gelombang, umumnya terumbu didominasi oleh karang dan ganggang. Pertumbuhan dari terumbu karang tergantung pada air yang dangkal, hangat, dan air asin, biasanya kedalaman kurang dari 50 meter dan temperatur lebih kurang 21oC. Kebanyakan terumbu karang berkembang di daerah tropis dan sub tropics (antara 34oN dan 30oS). Luasan terumbu karang saat ini diperkirakan = 2.000.000 km2.


Ada tiga tipe terumbu yaitu cincin (fringing), penghalang dan atoll. Terumbu cincin tumbuhan pada perairan dangkal di sepanjang pantai. Karang penghalang berkembang terpisah dengan kontinen oleh lagune. Atol adalah terumbu yang melingkar mengelilingi suatu lagune.


Terumbu karang itu kompleks tetapi merupakan organisme yang tersusun baik. Salah satu ciri perubahan dari terumbu karang dalah pertumbuhannya ke arah laut. Perubahan dari terumbu karang tergantung pada kedalaman, sinar dan suhu. Terumbu karang dapat dibedakan menjadi 4 mintakat, yaitu :

  1. Terumbu belakang (back reef), terletak dekat garis pantai, gelombang lemah, desanya tertutup oleh pasir, karbon atau dan material organic.
  2. Rataan terumbu, terletak lebih jauh arah ke laut, gelombang lebih kuat. Organisme yang hidup disini adalah karang, ubur – ubur, ikan, ganggang merah. Fotosintesis berjalan efisien. Ganggang jenis Lithotamnion dan everalinie banyak dijumpai.
  3. Mintakat penyangga dan terumbu depan, terletak dibagian terdapat ke arah laut, yang secara langsung terkena gelombang dan arus laut terus menerus.
  4. Kedalaman terumbu dapat mencapai 20 m di bawah permukaan. Terumbu tertutup oleh karang yang menyerupai pohon (Staghorncoral). Pada kedalaman lebih dari 20 m, sinar berkurang tetapi arus dan gelombang tambah kuat. Pada kedalaman ini tidak terdapat endapan hancur karang. Pada kedalaman 3070 m, yang gelombang dan sinar telah melemah terdapat endapan pasir gamping atau ukuran yang lebih halus.
Terumbu karang dapat terancam (punah) dengan berbagai sebab antara lain :
  1. Diambil penduduk untuk bahan bangunan, atau lainnya sehingga gelombang tidak bertahan
  2. Sedimentasi yang kuat sehingga terumbu mati
  3. Pembuangan limbah
  4. Penangkapan ikan yang menggunakan dinamit

Hutan Mangrove
Hutan mangrove dapat diketemukan pada daerah yang berlumpur seperti pada rataan pusat, Lumpur pasut dan eustaria, pada mintakat litoral. Agihannya terutama di daerah tropis dan subtropis, hutan mangrove kaya tumbuhan yang hidup bermacam – macam, terdiri dari pohon dan semak yang dapat mencapai ketinggian 30 m. Species mangrove cukup banyak 20 – 40 pada suatu area dan pada umumnya dapat tumbuh pada air payau dan air tawar. Fungsi dari mangrove antara lain sebagai perangkap sedimen dan mengurangi abrasi.


Padang Rumput Laut (Sea Grass Beds)
Padang rumput laut cukup baik pada perairan dangkal atau eustaria apabila sinar matahari cukup banyak. Agihannya terutama pada laut dangkal. Pertumbuhannya cepat kurang lebih 1.300 – 3.000 gr berat kering/m2/tahun. Binatang yang hidup di padang rumput laut antara lain :

  1. Yang hidup pada daun
  2. Yang makan akar canopy daun
  3. Yang mobil di bawah canopy daun
  4. Infaunal species




Tuesday, November 20, 2012

DISKRIMINASI LINGKUNGAN TERHADAP KAUM AIDS

Diskriminasi lingkungan terhadap kaum AIDS di Indonesia masih merupakan masalah aktual. Hal ini seharusnya tidak terjadi lagi, karena dalam masa reformasi ini telah diadakan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, serta oleh pemerintah sejak masa Presiden Habibie, Gus Dur, hingga Megawati telah dikeluarkan beberapa Inpres yang menghapuskan peraturan-peraturan pemerintah sebelumnya khususnya ORDE BARU yang bersifat diskriminatif terhadap kebudayaan minoritas, dalam arti adat istiadat, agama dari beberapa suku bangsa minoritas di tanah air. Mengapa hal demikian dapat terjadi terus, seakan-akan rakyat kita sudah tak patuh lagi dengan hukum yang berlaku di negara kita. Untuk menjawab ini, tidak mudah karena penyebabnya cukup rumit, sehingga harus ditinjau dari beberapa unsur kebudayaan, seperti politik dan ekonomi. Dan juga psikologi dan folklornya.
Diskriminasi lingkungan terhadap Kaum AIDS masih tetap aktual sehingga perlu ditanggulangi segera secara yuntas Sebelum sampai pada pembicaraan kita, ada baiknya ditinjau dahulu beberapa konsep yang mendasari topik kita, yakni: diskriminasi, minoritas, dan hubungan antara kelompok [intergroup relation].
Menurut Theodorson & Theodorson, (1979: 115-116): Diskriminasi adalah perlakuan yang tidak seimbang terhadap perorangan, atau kelompok, berdasarkan sesuatu, biasanya bersifat kategorikal, atau atribut-atribut khas, seperti berdasarkan ras, kesukubangsaan, agama, atau keanggotaan kelas-kelas sosial. Istilah tersebut biasanya akan untuk melukiskan, suatu tindakan dari pihak mayoritas yang dominan dalam hubungannya dengan minoritas yang lemah, sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku mereka itu bersifat tidak bermoral dan tidak demokrasi. Dalam arti tersebut, diskriminasi adalah bersifat. Aktif atau aspek yang dapat terlihat (overt) dari prasangka yang bersifat negatif (negative prejudice) terhadap seorang individu atau suatu kelompok. Dalam rangka ini dapat juga kita kemukakan definisi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berbunyi demikian: “Diskrimasi mencakup perilaku apa saja, yang berdasarkan perbedaan yang dibuat berdasarkan alamiah atau pengkategorian masyarakat, yang tidak ada hubungannya dengan kemampuan individu atau jasanya [merit].
Perlu kiranya dicatat di sini, bahwa dalam arti tertentu diskriminasi mengandung arti perlakuan tidak seimbang terhadap sekelompok orang, yang pada hakekatnya adalah sama dengan kelompok pelaku diskriminasi. Obyek diskriminasi tersebut sebenarnya memiliki beberapa kapasitas dan jasa yang sama, adalah bersifat universal. Apakah diskriminasi dianggap illegal, tergantung dari nilai-nilai yang dianut masyarakat bersangkutan, atau kepangkatan dalam masyarakat dan pelapisan masyarakat yang berlandaskan pada prinsip diskriminasi. Demikianlah para tamtama/prajurit (private) di dalam jajaran ketentaraan secara sah (legitimated) didiskriminasikan (diperlakukan tak seimbang), berdasarkan kedudukannya yang masih rendah, walaupun ia telah memiliki kemampuan yang sama, atau bahkan melebihi para perwira atasan mereka. Namun beberapa komunitas khayalan [utopian communities] telah mencoba untuk menghapuskan perbedaan-perbedaan semacam itu, dalam kedudukan kepangkatan, seringkali berdasarkan keyakinan bahwa semua orang beragama adalah sama di mata Tuhan; dan di Amerika Serikat penyebaran nilai-nilai politik dan agama telah membawa perubahan-perubahan dalam struktur masyarakat, telah menyebabkan terjadinya perlawanan terhadap segala macam diskriminasi yang bersifat agama, ras, bahkan kelaskelas masyarakat. Kriteria masyarakat, untuk apa yang dianggap perlakuan diskriminasi terhadap seorang maupun kelompok, selalu bergeser, sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakatnya.
Menurut Theodorson & Theodorson ( 1979: 258-259), kelompok minoritas (minority groups) adalah kelompok-kelompok yang diakui berdasarkan perbedaan ras, agama, atau sukubangsa, yang mengalami kerugian sebagai akibat prasangka (prejudice) atau diskriminasi istilah ini pada umumnya dipergunakan bukanlah sebuah istilah teknis, dan malahan, ia sering dipergunakan untuk menunjukan pada kategori perorangan, dari pada kelompok-kelompok. Dan seringkali juga kepada kelompak mayoritas daripada kelompok minoritas. Sebagai contoh, meskipun kaum wanita bukan tergolong suatu kelompok (lebih tepat kategori masyarakat), atau pun suatu minoritas, yang oleh beberapa penulis sering digolongkan sebagai kelompok minoritas, karena biasanya dalam masyarakat, yang berorientasi pada pria/male chauvinism, sejak jaman Nabi Adam telah didiskriminasikan sebaliknya, sekelompok orang, yang termasuk telah memperoleh hak-hak istimewa (privileged) atau tidak didiskriminasikan, tetapi tergolong minoritas secara kuantitatif, tidak dapat digolongkan ke dalam kelompok minoritas. Oleh karenannya istilah minoritas tidak termasuk semua kelompok, yang berjumlah kecil, namun dominan dalam politik. Akibatnya istilah kelompok minoritas hanya ditujukankepada mereka, yang oleh sebagian besar penduduk masyarakat dapat di jadikan obyek prasangka atau diskriminasi. Akhimya perlu juga dijelaskan tentang hubungan antara kelompok (lntergroup relation) . Menurut Theodorson & Theodorson ( 1979: 212) pada dasarnya istilah ini berarti penelitian mengenai hubungan antar kelompok, seperti pada kelompok minoritas dan kelompok mayoritas. Selain itu juga konsisten, atau konflik di antara suku-suku bangsa, atau kelompok-kelompok ras, sehinga dapat dianggap sebagai masalah sosial (social problem).
Di indonesia sendiri sejarah AIDS adalah sebagai berikut :
Sejarah 1983
Dr. Zubairi Djoerban melaksanakan penelitian terhadap 30 waria di Jakarta. Karena rendahnya tingkat limfosit dan gejala klinis, Dr. Zubairi menyatakan dua di antaranya kemungkinan AIDS. Pada November, Menteri Kesehatan RI, Dr. Soewandjono Soerjaningrat menyatakan pencegahan AIDS terbaik adalah tidak ikut-ikutan jadi homoseks ... dan mencegah turis-turis asing membawa masuk penyakit itu.
Sejarah 1984
Di Kongres Persatuan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (KOPAPDI) VI, pada Juli, dilaporkan bahwa dari 15 orang diperiksa, tiga memenuhi kriteria minimal untuk diagnosis AIDS. Pada November, Kepala Divisi Transfusi Darah PMI, Dr. Masri Rustam menyatakan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir AIDS menyerang penerima transfusi darah di sini. Walau skrining membutuhkan biaya besar, pencegahan ... dilakukan dengan melarang kaum homoseksual atau waria menjadi donor darah.
Sejarah 1985
Pada 1 Agustus, Dr. Zubairi menyatakan bila penyakit AIDS sampai menyerang masyarakat akan sulit dicegah. Pada hari berikut, Menkes membenarkan adanya kemungkinan AIDS sudah masuk ke Indonesia. Dr. Arjatmo Tjokrnegoro PhD, ahli imunologi di FK-UI, menduga mungkin orang Indonesia kebal terhadap AIDS karena aspek rasial. Pada 8 Agustus, RSCM dan FK-UI membentuk satuan tugas untuk mengkaji masalah AIDS. Pada 2 September, Menkes menyatakan sudah ada lima kasus AIDS ditemukan di Bali. Namun Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (P2MPLP) Depkes, Dr. M. Adhyatama mengaku dia tidak tahu-menahu mengenai kasus tersebut. Seorang perempuan berusia 25 tahun dengan hemofilia dinyatakan terinfeksi HIV pada September di Rumah Sakit Islam Jakarta (RSIJ). Pada 11 November, Menkes mengatakan bahwa belum pernah ditemukan orang yang betul-betul terkena penyakit AIDS. Menjawab pertanyaan wartawan, Menkes komentar “Kalau kita taqwa pada Tuhan, kita tidak perlu khawatir terjangkit penyakit AIDS.”
Sejarah 1986
Perempuan berusia 25 tahun yang didiagnosis HIV pada September 1985 meninggal dunia di RSIJ, tes darahnya memastikan bahwa dia terinfeksi HTLV-III, dan dengan gejala klinis yang menunjukkan AIDS. Kasus ini tidak dilaporkan oleh Depkes. Pada Januari, tes HIV dapat dilakukan di RSCM dengan biaya Rp 62.500. Hasil positif akan dikirim ke AS untuk penelitian lebih lanjut. Juga pada Januari, FKUI RSCM melakukan penelitian terhadap pasien hemofilia yang menerima produk darah (faktor VIII). Ternyata ditemukan satu di antaranya yang dipastikan terinfeksi HIV. Dan pasien tersebut masih diketahui hidup sehat tanpa terapi antiretroviral (ART) pada Juli 1998 – lebih dari 12 tahun setelah didiagnosis. Pada Maret, satuan tugas RSCM dan FK-UI yang dibentuk pada 1985 untuk mengkaji masalah AIDS diresmikan sebagai Kelompok Studi Khusus (Pokdisus) AIDS.
Sejarah 1987
Seorang wisatawan asal Belanda meninggal di RS Sanglah, Bali. Kematian pria berusia 44 tahun itu diakui Depkes disebabkan AIDS. Indonesia masuk dalam daftar WHO sebagai negara ke-13 di Asia yang melaporkan kasus AIDS. Pada Oktober, dilakukan Kongres tentang Penyakit Akibat Hubungan Kelamin di Bali sekaligus Konferensi International Union Against Venerial Diseases and Treponematoses untuk kawasan Asia dan Pasifik. Menkes Dr. Soewandjono Soerjaningrat dalam sambutan mengatakan bahwa penyakit yang sebelumnya dikaitkan dengan hubungan seksual yang menyimpang dari tuntutan agama, ternyata dapat menular melalui darah.
Sejarah 1988
Pada 1988, Depkes hanya melaporkan tambahan satu kasus infeksi HIV di Indonesia. Sejarah 1989 Tema Hari AIDS Sedunia 1989 adalah “Kaum Muda (Youth).” Pada 1989, Depkes tidak melaporkan satu pun kasus infeksi HIV tambahan di Indonesia. Namun satu kasus HIV dilaporkan berlanjut menjadi AIDS.
Sejarah 1990
Tema Hari AIDS Sedunia 1990 adalah “Wanita dan AIDS (Women and AIDS).” Pada 1990, Depkes melaporkan tambahan dua kasus AIDS, sehingga jumlah kasus infeksi HIV di Indonesia menjadi sembilan.
Sejarah 1991
International AIDS Candlelight Memorial pertama diselenggarakan di Indonesia. Peristiwa ini, dikenal sebagai Malam Tirakatan Mengenang Korban-Korban AIDS, diselenggarakan di Surabaya oleh Kelompok Kerja Lesbian & Gay Nusantara (sekarang Gaya Nusantara), dengan bantuan dari Persatuan Waria Kotamadya Surabaya (Perwakos). Pada 29-30 Juli, dilakukan Semiloka Nasional AIDS di Denpasar, Bali, untuk membahas Pengembangan Strategi Penanggulangan AIDS di Indonesia. Tema Hari AIDS Sedunia 1991 adalah “Bersama Kita Hadapi Tantangan (Sharing the Challenge).” Pada 1991, Depkes melaporkan tambahan jumlah kasus infeksi HIV di Indonesia sudah menjadi 18, dengan 12 sudah AIDS.
Sejarah 1992
Tema Hari AIDS Sedunia 1992 adalah “Komitmen Komunitas (Community Commitment).” Pada 1992, Depkes melaporkan tambahan jumlah kasus infeksi HIV di Indonesia sudah menjadi 28, dengan 10 sudah AIDS.
Sejarah 1993
Tema Hari AIDS Sedunia 1993 adalah “Waktunya Untuk Bertindak! (Time to Act)”. Di Indonesia, dilaporkan 137 kasus infeksi HIV plus 51 orang dengan AIDS.
Sejarah 1994
LP3Y bekerja sama dengan Lentera-PKBI DIY dan The Ford Foundation, melakukan Work Shop Penulisan AIDS bagi Wartawan. Sebagai hasil dari kegiatan itu, diterbitkan dua buku kecil, “10 Pakar Bicara AIDS” dan “11 Langkah Memahami AIDS.” Pada 30 Mei, Presiden RI, Suharto, menandatangani Keputusan Presiden Nomor 36/2004 tentang Komisi Penanggulangan AIDS (KPA). Berdasarkan Kepres 36 ini, Menkokesra Ir Azwar Anas mengeluarkan Keputusan tentang Susunan, Tugas dan Fungsi Keanggotaan KPA pada 15 Juni, serta Keputusan tentang Strategi Nasional Penanggulangan AIDS di Indonesia pada 16 Juni. Ketua KPA adalah Menkokesra sendiri, dan sekretaris KPA pertama adalah Dr. Suyono Yayha, MPH. Pada Agustus, sebuah pokja KPA memperkirakan bahwa jumlah kasus infeksi HIV di Indonesia pada 2005 akan menjadi antara 600.000 (penularan rendah, intervensi yang efektif) dan 1.990.000 (penularan tinggi, tanpa intervensi).
Pada akhir tahun ini di Indonesia, secara kumulatif sudah dilaporkan 275 infeksi HIV, dengan 67 di antaranya AIDS. 100 di antaranya adalah WNA. 203 adalah laki-laki, 68 perempuan, 4 tidak diketahui. Jalur penularan: 69 homoseks, 160 heteroseks, 2 IDU, 2 transfusi darah, 2 hemofilia dan 40 tidak diketahui. Tema Hari AIDS Sedunia 1994 adalah “AIDS & Keluarga (AIDS and the Family).”
Sejarah 1995
Edisi perdana majalah Support diterbitkan oleh Yayasan Pelita Ilmu pada Januari. Hingga Mei, 49 orang tercatat meninggal karena AIDS di Indonesia. Pusat Media Pelatihan AIDS untuk Wartawan (PMP AIDS) didirikan pada awal tahun oleh LP3Y di Yogyakarta. Newsletter PMP AIDS edisi perdana diterbitkan pada Mei. Yayasan Pelita Ilmu (YPI) membuka Sanggar Kerja, yaitu tempat persinggahan (shelter) untuk Odha, di Kebon Baru, Jakarta, dengan dukungan oleh Ford Foundation. Program Buddies (pendamping Odha) juga dimulai.
Pada Agustus, RS Medistra Jakarta melarang Dr. Samsuridjal Djauzi untuk merawat pasien apa pun, karena beliau bersedia merawat pasien AIDS di RS tersebut. Dikutip oleh harian Kompas pada Mei, Menteri Negara Kependudukan/Kepala BKKBN menyinyalir bahwa “virus AIDS sudah dimanfaatkan sebagai alat tindak kejahatan...” Spiritia didirikan oleh Suzana Murni sebagai organisasi yang mandiri pada November. Tema Hari AIDS Sedunia 1995 adalah “Hak dan Tanggung Jawab Bersama (Shared Rights, Shared Responsibilities).” Kegiatan dikoordinasi oleh BKKBN. Headline pada Suplemen Khusus Harian Surya yang menyambut Hari AIDS Sedunia berbunyi “Tunggu! AIDS mungkin akan mewabah di Indonesia.” Pada akhir tahun ini di Indonesia, secara kumulatif sudah dilaporkan 364 infeksi HIV, dengan 87 di antaranya AIDS.
Sejarah 1996
Pada pertemuan di Pacet, Jawa Timur, pada 15 Maret, dikeluarkan “Pernyataan Pacet tentang Masalah Etika dan Hak Asasi yang berkaitan dengan Pewabahan dan Upaya Pencegahan HIV/AIDS.” International AIDS Candlelight Memorial diselenggarakan di 31 kota di Indonesia sebagai Malam Renungan AIDS Nusantara (MRAN), dengan tema “Bersama Membangun Harapan,” dikoordinasikan oleh Grup Koordinasi Nasional Mobilisasi AIDS Nusantara (GKNMAN). Menurut harian Kompas, “diiringi lagu ‘Lilin-lilin Kecil’ yang dinyanyikan sendiri oleh penciptanya, James F Sundah, sekitar seribu lilin di tangan para hadirin menyala menerangi Plaza Taman Ismail Marzuki, Jakarta.” Pertemuan Nasional Pencegahan dan Penatalaksanaan HIV/AIDS (Pertemuan Nasional HIV/AIDS I) dilakukan pada Juli di Wisma Kalimanis, Jakarta. Pada pertemuan itu, diputuskan untuk mendirikan tiga organisasi baru: Perhimpunan Dokter Peduli AIDS Indonesia (PDPAI); Forum Komunikasi LSM/Organisasi Peduli AIDS (FKLOPA); dan Masyarakat Peduli AIDS Indonesia (MPAI). Milis AIDS-INA, milis pertama untuk membahas masalah HIV dan AIDS di Indonesia, diluncurkan oleh Dr. Pandu Riono Tema Hari AIDS Sedunia 1996 adalah “Satu Dunia Satu Harapan (One World One Hope)”. Pada akhir tahun ini di Indonesia, secara kumulatif sudah dilaporkan 501 infeksi HIV, dengan 119 di antaranya AIDS.
Sejarah 1997
Pada Mei, Ditjen POM mengeluarkan surat resmi kepada Ditjen Bea Cukai yang menerangkan bahwa bila Bea Cukai mendapat kiriman ARV dari luar negeri yang ditujukan pada Pokdisus AIDS, obat tersebut dapat dikeluarkan tanpa harus diuji coba Ditjen POM. Pada Juni, ARV yang berikut tersedia di Indonesia: AZT, ddI, ddC, 3TC, saquinavir dan ritonavir. Namun harganya tidak terjangkau untuk mayoritas Odha. Surveilans yang dilakukan terhadap waria di Jakarta menunjukkan prevalensi HIV 6%, naik dari 0,3% pada 1995. Tema Hari AIDS Sedunia 1997 adalah “Anak-anak yang Hidup di Dunia dengan AIDS (Children Living in a World with AIDS)” Pada akhir tahun ini di Indonesia, secara kumulatif sudah dilaporkan 619 infeksi HIV, dengan 153 di antaranya AIDS.
Sejarah 1998
Didi Mirhad, bintang iklan Indonesia, mengungkapkan status dirinya HIV-positif pada media massa. Pertemuan Odha pertama dilakukan oleh Spiritia di Ubud, Bali, dengan menghadirkan 16 Odha dan Ohidha dari seluruh Indonesia. Pada Oktober, RCTI mulai menayangkan sinetron Kupu-Kupu Ungu, disutradarai oleh Nano Riantiarno, dengan bintang Nurul Arifin dan Sandi Nayoan. Sinetron sepanjang 13 episode tersebut menggambarkan beragam masalah medis, sosial, psikologis dan mitos seputar HIV dan AIDS. Tema Hari AIDS Sedunia ditentukan sebagai “Kaum Muda: Semangat Perubahan”. Kegiatan dikoordinasi oleh Departemen Agama. Menjelang Hari AIDS, KPA meluncurkan Kampanye Nasional AIDS, ditandai oleh lambang baru, yaitu pita merah-putih.
Sejarah 1999
Didi Mirhad, bintang iklan Indonesia, meninggal dunia karena AIDS pada 25 Agustus. Semiloka Nasional Penggunaan dan Penyalahgunaan NAZA dilakukan selama empat hari di September oleh sekelompok aktivis HIV dan narkoba, dengan melibatkan beberapa pembicara dari Australia dan Malaysia. Pertemuan ini adalah pertama kali konsep Harm Reduction dibahas oleh para pembuat kebijakan dan pengambil keputusan di Indonesia. Tema Hari AIDS Sedunia 1999, ‘Dengar, Simak, Tegar! (Listen, Learn, Live!)’ tetap ditujukan pada orang berusia di bawah 25 tahun. Kegiatan dikoordinasi oleh Departemen Pendidikan. Pada akhir tahun, ARV yang berikut tersedia di Indonesia: AZT, ddI, ddC, 3TC, d4T, saquinavir, ritonavir dan indinavir.
Sejarah 2000
Pertemuan Nasional HIV/AIDS II dilakukan pada April di Jakarta. Surveilans di antara 67 pengguna narkoba suntikan yang ditahan di Lapas Kerobokan di Bali pada akhir tahun menemukan 35 (56%) terinfeksi HIV. Pada November, sebuah pertemuan yang dilakukan oleh Lentera-Sahaja PKBI DIY di Kaliurang, DIY yang melibatkan beberapa relawan dari kelompok marjinal dibongkar secara ‘brutal dan keji oleh kelompok orang yang bertopeng dan bersembunyi dibalik jubah “agama” ataupun “parpol” tertentu.’ Tema Hari AIDS Sedunia 2000 adalah ‘AIDS – Pria Berpengaruh (AIDS – Men Make a Difference)’. Kegiatan dikoordinasi oleh BKKBN.
Sejarah 2001
Dua belas penghuni sebuah pusat pemulihan narkoba di Bali dites HIV. Delapan di antaranya ditemukan terinfeksi. Dengan dukungan dari Ketua Badan POM, berapa jenis ARV generik dari India mulai tersedia di Indonesia, termasuk AZT, 3TC, gabungan AZT+3TC, d4T dan nevirapine. Dengan obat ini, terapi antiretroviral (ART) yang baku mulai tersedia di Indonesia, walau harga masih mahal (lebih dari Rp 1 juta per bulan). Pertemuan Nasional Odha ke-2 dilakukan oleh Spiritia di Kuta, Bali pada September, dihadiri oleh 36 Odha dan Ohidha dari seluruh Indonesia. Peserta menyetujui dikeluarkan “Asas-Asas Penanggulangan HIV/AIDS” sebagai suatu hasil dari pertemuan itu. Walau dalam keadaan sakit dan harus memakai kursi roda, Suzana Murni, pendiri Spiritia berpidato pada pembukaan Konferensi Internasional AIDS di Asia Pasifik (ICAAP) ke-6 di Melbourne, pada Oktober, dengan judul ‘Memecah Penghalang’. Tema Hari AIDS Sedunia 2000 adalah ‘Kami peduli. Anda bagaimana? (I care. Do you?)’. Kegiatan dikoordinasi oleh Departemen Kesehatan. Pada 31 Desember, Drs. M. Jusuf Kalla sebagai Menkokesra menandatangani Keputusan tentang Sekretariat KPA, yang menetapkan Dr. Farid Husein sebagai Sekretaris KPA.
Sejarah 2002
Sidang Kabinet Sesi Khusus HIV/AIDS dilakukan pada 28 Maret. Pada 1 April, disusun Komite Pengarah untuk Strategi Nasional Penanggulangan AIDS, untuk mengembangkan rancangan Stranas baru. Permohonan Indonesia untuk dana dari Global Fund Ronde 1 disetujui, dengan dana hampir 16 juta dolar untuk HIV. Fase 1 program, dengan dana hampir 7 juta dolar, mulai diterapkan pada Juli 2003. Suzana Murni, pendiri Spiritia, meninggal dunia pas sebelum pembukaan Konferensi AIDS Sedunia ke- 14 di Barcelona, Spanyol pada Juli. Konferensi ini didominasi oleh masalah terkait pengobatan untuk HIV di negara terbatas sumber daya. Penghargaan yang diberikan pada Spiritia oleh Family Health International (FHI) diterima oleh Siradj Okta, adik Suzana. Indonesia menunjukkan betapa mendadak epidemi HIV dapat muncul. Setelah lebih dari sepuluh tahun prevalensi HIV yang rendah, angka meloncat di antara pengguna narkoba suntikan dan pekerja seks, dengan sampai 40% orang di tempat pemulihan narkoba di Jakarta diketahui HIV-positif. Pada Oktober dibentuk Gerakan Nasional Meningkatkan Akses Terapi HIV/AIDS (GN-MATHA), diketuai oleh Dr. Samsuridjal Djauzi, dengan tujuan agar 10.000 Odha di Indonesia mendapatkan ART pada 2005.
Sebuah International Roundtable: Increasing Access to HIV Treatment in Resource Poor Settings dilakukan di Canberra, Australia pada September. Di antara 85 peserta, dari 18 negara, ada lima dari Indonesia. Tema Hari AIDS Sedunia 2002 ditetapkan oleh BKKBN sebagai ‘Tetap Hidup dengan Tegar’. Tema internasional adalah ‘Live and Let Live’. Dirjen Farmasi Depkes memasukkan AZT, 3TC dan nevirapine dalam Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) untuk semua rumah sakit tipe A dan tipe B se-Indonesia.
Sejarah 2003
Pertemuan Nasional Odha ke-3 dilakukan oleh Spiritia di Cikopo, Puncak pada Februari, dihadiri oleh 50 Odha dan Ohidha dari seluruh Indonesia. Peserta menyetujui dikeluarkannya “Pernyataan Cikopo” sebagai suatu hasil dari pertemuan itu. “Tegak Tegar – Hidup Positif Bersama HIV”, Pameran Foto Karya Rio Helmi, yang didedikasikan untuk Almarhumah Suzana Murni, diluncurkan di Gedung DPR-RI, Senayan, Jakarta pada Februari. Foto dalam pameran menunjukkan beberapa Odha di Indonesia dalam kegiatan sehari-hari. Pada Maret, Menteri Kesehatan RI mengatakan bahwa pemerintah akan memberi subsidi ARV generik sebesar Rp 200.000 per bulan untuk setiap Odha yang membutuhkannya. Beberapa provinsi memutuskan untuk menyediakan ARV secara gratis untuk sejumlah Odha di provinsinya. Pada Juli, penyediaan ART untuk 100 Odha di Indonesia yang didanai oleh Global Fund mulai direncanakan. Program Global Fund Ronde I Fase 1 untuk HIV dimulai di Indonesia pada Juli. Program ini diutamakan untuk memberi ARV pada 100 Odha di lima provinsi. Pada Agustus 2003, Kimia Farma meluncurkan produk ARV-nya. Pada awal disediakan AZT (Reviral), 3TC (Hiviral), gabungan AZT+3TC (Duviral), serta nevirapine (Neviral). Namun rencana awal untuk membuat gabungan AZT+3TC+nevirapine dengan nama Triviral tidak berhasil. Harga untuk Duviral dan Neviral ditetapkan sebagai Rp 345.000. Jogjakarta Round Table Meeting, yang dihadiri oleh peserta dari 16 negara dengan tujuan mengevaluasi pelaksanaan akses ART, diselenggarakan pada September. Pertemuan ini adalah lanjutan dari pertemuan serupa yang dilakukan di Canberra pada 2002. Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) meluncurkan Strategi Nasional Penanggulangan AIDS 2003-2007. Menyambut Hari AIDS Sedunia, Presiden Republik Indonesia Megawati bertemu dengan beberapa Odha di istana negara. Tema Hari AIDS Sedunia 2003 ditetapkan oleh Departemen Sosial sebagai ‘Stigma dan Diskriminasi’. Pada akhir 2003, diperkirakan 1.100 Odha memakai ART di Indonesia.
Sejarah 2004
Pada 19 Januari, wakil dari pemerintah enam provinsi yang dianggap paling rentan terhadap HIV (Papua, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, DKI Jakarta, dan Riau), pada pertemuan di Papua dengan Ketua KPA Jusuf Kalla dan wakil dari enam departemen serta Ketua Komisi VII DPR-RI, Dr. Sanusi Tambunan, menyatakan Komitmen Sentani. Di antara tujuh pasal dalam komitmen tersebut, para peserta berjanji akan “Mengupayakan pengobatan HIV/AIDS termasuk penggunaan ARV kepada minimum 5.000 Odha pada tahun 2004.” Pertemuan Nasional Odha ke-4 dilakukan oleh Spiritia di Tretes, Jawa Timur pada Februari, dihadiri oleh 60 Odha dan Ohidha dari seluruh Indonesia. Peserta menyetujui dikeluarkannya “Pernyataan Tretes” sebagai suatu hasil dari pertemuan itu.
Departemen Kesehatan menetapkan 25 rumah sakit di 15 provinsi sebagai Rumah Sakit Rujukan AIDS, tahap pertama. Sedikitnya dua dokter, satu perawat dan satu konselor dari masing-masing rumah sakit diberi pelatihan khusus. Spiritia meluncurkan prakarsa pencegahan untuk Odha yang disebut “HIV Stop di Sini”, yang dimaksudkan membantu memutuskan rantai penularan. Yayasan Spiritia melakukan pelatihan Pendidik Pengobatan pertama di Jakarta, dengan melibatkan 45 peserta dari kelompok dukungan sebaya dan komunitas di seluruh Indonesia. Setelah upaya advokasi yang melibatkan kelompok dukungan sebaya dari seluruh Indonesia, Depkes mengubah kebijakan untuk menyediakan ART dengan subsidi penuh pada 4.000 Odha. Dilakukan Pertemuan Nasional KDS ke-2 di Sanur Bali pada November, dihadiri oleh wakil dari 33 kelompok dukungan sebaya (KDS) untuk Odha/Ohidha dari 24 kota dan 20 provinsi. Peserta menyetujui dikeluarkan “Pernyataan Bali” sebagai suatu hasil dari pertemuan itu. Tema Hari AIDS Sedunia 2004 ditetapkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan sebagai ‘Perempuan, Remaja Putri, HIV dan AIDS’, dengan slogan “Sudahkah Kau Dengar Aku Hari Ini?” Tema internasional adalah ‘Women, Girls, HIV and AIDS’, dengan slogan “Have You Heard Me Today?”.
Sejarah 2005
Setelah mengevaluasi kinerja penerapan Fase 1 programnya Ronde I di Indonesia, Global Fund memutuskan untuk memotong dana untuk Fase 2 (Juli 2005-Juni 2007) dari 9 juta dolar AS menjadi 900.000 dolar. Terkait dengan kunjungan Kofi Annan, Sekretaris-Jenderal PBB ke Indonesia, untuk Konferensi Asia- Afrika, istrinya, Ibu Nane Annan mengunjungi Spiritia. Di kantor Spiritia, Ibu Nane berbincang dengan kurang lebih 20 Odha dari berbagai latar belakang. Pada Mei, Agustina Saweri, meninggal dunia di Jayapura. Odha berusia 26 tahun itu memperoleh embelembel ‘Buah Merah’ di namanya setelah ia diboyong ke Jakarta pada Oktober 2004 untuk memberi kesaksian tentang khasiat buah tersebut sebagai alternatif pengobatan AIDS. Agustina didesak untuk berhenti penggunaan ART-nya, karena tidak dibutuhkan lagi setelah memakai Buah Merah. International Congress on AIDS in Asia and the Pacific (ICAAP) ke-7 dilakukan di Kobe, Jepang pada Juli, dengan tema ‘Bridging Science and Community (Menjembatani Ilmiah dan Komunitas).’ Spiritia melaksanakan Kongres Nasional Odha pertama di Lembang, Jawa Barat, pada September, dihadiri oleh 120 peserta Odha dan Ohidha. Peserta mengeluarkan “Pernyataan Lembang” seusai pertemuan. Tema Hari AIDS Sedunia 2005 ditetapkan oleh Departemen Dalam Negeri sebagai ‘Kepemimpinan dan Penanggulangan HIV/AIDS’. Tema internasional adalah ‘Stop AIDS. Keep the Promise’. KPA Nasional mengeluarkan rencana program akselerasi di 100 Kabupaten/Kota tahun 2005. Rencana ini dicanangkan pada Hari AIDS Sedunia oleh Bapak Wakil Presiden.
Sejarah 2006
Pada Januari, laboratorium resistansi genotipe HIV mulai diuji coba di Departemen Mikrobiologi FKUI. Lab ini disediakan untuk melakukan surveilans resistansi untuk Depkes. Pada Mei, dilakukan International AIDS Candlelight Memorial (Malam Renungan AIDS) dengan tema internasional “Lighting the Path to a Brighter Future”. Antara lain, kegiatan diadakan di Tangerang, Lombok, Kediri, Malang dan Jogja. Juga pada Mei, diluncurkan buku ‘Dua Sisi dari Satu Sosok’, kumpulan tulisan Suzana Murni. Buku ini, yang disusun oleh Putu Oka Sukanta, mengandung 43 artikel dan puisi karya Suzana, sebagian diterjemahkan dari tulisan asli dalam bahasa Inggris. Peraturan Presiden (PP) RI Nomor 75 Tahun 2006 tentang Komisi Penanggulangan AIDS Nasional ditandatangani oleh Bapak Presiden pada 13 Juli 2006. Antara yang lain, PP ini menetapkan Dr. Nafsiah Ben Mboi sebagai Sekretaris. Situs web Spiritia bangkit kembali pada Juni. di antara fitur yang pada awal tersedia adalah akses pada berbagai dokumen Spiritia (termasuk semua Lembaran Informasi), statistik Depkes dari 1995, dan informasi mengenai kelompok dukungan sebaya dalam jaringan se-Indonesia.
Pada Agustus diluncurkan situs web www.aids-ina.org yang merupakan langkah awal dari beberapa aktivis dan pemerhati untuk melengkapi forum milis aids-ina. Diharapkan situs web ini bisa menjadi pusat informasi terhadap isu HIV-AIDS di Indonesia. Juga pada Agustus, diumumkan bahwa penyebaran HIV/AIDS di Tanah Papua diperkirakan telah memasuki kelompok masyarakat umum (generalized epidemic). Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat/Ketua Komisi Penanggulangan AIDS Nasional pada acara penyerahan AIDS Award 2006 di Hotel Nikko di September. AIDS Award event di anugerahkan kepada 19 perusahaan yang telah menunjukkan prestasi dalam melaksanakan program penanggulangan AIDS di tempat kerja. AIDS Award Event 2006 diselenggarakan oleh KPA Nasional. Ada pertemuan antara Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto dengan sekretaris KPA Nasional Dr. Nafsiah Mboi, SpA, MPH di Markas Besar TNI Cilangkap pada Oktober. Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto mengatakan bahwa upaya pencegahan penularan HIV di lingkungan TNI sangat penting untuk segera ditingkatkan pelaksanaannya di semua jajaran TNI termasuk di komando utama (KOTAMA). Tema Hari AIDS Sedunia 2006 ditetapkan oleh Departemen Kesehatan sebagai ‘STOP AIDS – Tepati Janji’, dengan fokus pada akuntabilitas. Tema internasional tetap ‘Stop AIDS. Keep the Promise’, sama seperti tahun sebelumnya.
Sejarah 2007
Buku Suzana Murni, ‘Lilin Membakar Dirinya’, biografi Suzana oleh Putu Oka Sukanta, diluncurkan pada Januari. Pada Februari, PB IDI (Bidang Penyakit Menular) bersama ASHM (Australasian Society HIV Medicine) mengadakan Kursus Nasional tentang Koinfeksi HIV-Hepatitis Virus selama dua hari yang merupakan kegiatan penting Pra-Pertemuan Nasional HIV/AIDS ke-3. Pertemuan Nasional HIV & AIDS ke-3 dilakukan di Surabaya pada Februari dengan tema “Menyatukan Langkah untuk Memperluas Respons”. Antara lain, Strategi Nasional Penanggulangan AIDS 2007-2010 diluncurkan di pertemuan ini. Bantuan Dana Global Fund untuk penanggulangan AIDS, TB, dan Malaria untuk Indonesia dihentikan sementara mulai pertengahan bulan Maret. Alasan utama penghentian aliran dana untuk tiga penyakit menular tersebut karena ditemukan “mismanagement” dalam pengelolaan dana tersebut. Pada Juli, diketahui bahwa Komisi E DPR Provinsi Papua, dalam Rancangan Perdasi (Peraturan Daerah Provinsi) terkait penanggulangan HIV dan AIDS di Papua mengusulkan pemasangan microchip dan anjuran pemeriksaan wajib HIV bagi setiap warga Papua, didorong oleh anggota Dr. John Manangsang. Spiritia melaksanakan Kongres Nasional Odha dan Ohidha ke-II Peningkatan Pemberdayaan dan Keterampilan dalam Menghadapi HIV dan AIDS di Lido 29 Juli-1 Agustus 2007 dengan tema ”Peduli AIDS – Jangan Hanya Slogan”. Pada Agustus, di International Congress on AIDS in Asia and the Pacific (ICAAP) ke-8 di Colombo, Sri Lanka, diumumkan bahwa Indonesia akan menjadi tuan rumah untuk ICAAP ke-9 di Bali pada 2009. Dana Global Fund, yang dibekukan pada Maret 2007, dicairkan lagi pada Oktober. Tema Hari AIDS Sedunia 2007 ditetapkan oleh BKKBN sebagai ‘STOP AIDS – Tepati Janji’, dengan fokus pada kepemimpinan. Tema internasional tetap ‘Stop AIDS. Keep the Promise’, sama seperti dua tahun sebelumnya. Di antara kegiatan terkait dengan Hari AIDS, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan pertemuan di Istana Negara. Puncak acara adalah dialog langsung Presiden SBY dengan Odha dan keluarganya. Dalam dialog yang dipandu langsung oleh Aburizal Bakrie selaku ketua KPA Nasional ini, Presiden berkesempatan mendengarkan langsung hal yang dialami oleh Odha. Tanggapan dan jawaban yang diberikan oleh Presiden dalam dialog tersebut secara nyata dirasakan langsung oleh peserta dialog. seperti yang disampaikan oleh Luh Putu Ikha, perwakilan dari Bali, bahwa peran Odha dalam penanggulangan HIV/AIDS di tanah air perlu didukung oleh pemerintah. Pekan Kondom Nasional (PKN) Pertama dilaksanakan 1-8 Desember 2007 dengan kegiatan yang mencakup pembagian materi edukasi ke berbagai pelosok daerah di Indonesia, pelatihan, talkshow, konser musik, dan lomba karya tulis dan fotografi bagi wartawan dan blogger. Akibat PKN ini, KPA Nasional didemo dua kali, dengan tuduhan “merusak moral bangsa”, dan mereka sama sekali tidak ma dengar penjelasan dari Ibu Nafsiah Mboi, Sekretaris KPA Nasional. Pada akhir 2007, dilaporkan 11.570 Odha pernah mulai ART, dengan 6.653 (58%) masih memakainya.
Sejarah 2008
Komunitas TNI mengumumkan pada Januari bahwa akan melaksanakan proyek percontohan untuk pelayanan terpadu HIV-AIDS di Jatim khususnya bagi masyarakat TNI. Penasihat Khusus Sekjen PBB dan utusan khusus untuk HIV dan AIDS di Asia Pasifik, Nafis Sadik, yang menunjungi Indonesia pada Februari, mengujar bahwa, “Targetnya MDG 2015 tidak akan tercapai, jika keadaan AIDS tidak dapat ditanggulangi secara baik.” Menurutnya, penyebaran epidemi HIV di Indonesia telah mengalami peningkatan. Pertambahan itu menurutnya banyak disebabkan oleh penularan infeksi melalui transmisi seksual.
Pertemuan Nasional Harm Reduction dilakukan di Makassar pada Juni. Pada pertemuan tersebut, Asisten Deputi Sekretaris KPA Nasional Inang Winarso mengatakan, dari 3.000 pasien yang mengikuti program Metadon di seluruh Indonesia, 20% di antaranya telah terbebas sebagai pengguna dan pecandu narkoba. Juga pada pertemuan itu, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Aburizal Bakrie juga mengampanyekan penggunaan kondom di kalangan pengguna Napza. Dalam Kongres Anak Indonesia VII 2008, yang dilakukan pada Juli terkait dengan Hari Anak Indonesia (HAN) 2008 di Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, peserta merumuskan “Suara Anak Indonesia.” Mereka bertekad meningkatkan pemahaman cara hidup sehat, hak kesehatan reproduksi, agar terhindari dari bahaya penyakit menular, HIV/AIDS serta penyalahgunaan narkotika. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan jajaran menteri terkait menindaklanjuti hasil kongres tersebut. Melalui Musyawarah Nasional Orang Terinfeksi HIV yang dilakukan secara terbatas dan dihadiri oleh 124 orang terinfeksi HIV berasal dari 27 provinsi pada Juli, telah membentuk sebuah organisasi yang bernama Jaringan Orang Terinfeksi HIV (JOTHI). Dipilih Abdullah Denovan sebagai Koordinator Nasional dengan periode kerja dua tahun. Sekretaris Nasional Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional Nafsiah Mboi memprediksi pada Juli bahwa jumlah kasus HIV dan AIDS pada 2020 akan melonjak menjadi 2 juta kasus. Sekitar 80% di antaranya menimpa kaum laki-laki. Pada pertemuan di IDI di Oktober, diumumkan bahwa estimasi jumlah orang terinfeksi HIV di Indonesia sudah menjadi 277.000. Masyarakat Peduli AIDS Nasional (Mapan) – yang menggabungkan antara lain Jaringan orang terinfeksi HIV (JOTHI) Jakarta, Persatuan korban Napza dan LBH Kesehatan sebagai pendamping – pada November melakukan aksi di depan Kantor Perwakilan PBB di Menara Thamrin, Jakarta. Mereka menuntut Koordinator UNAIDS Indonesia Nancy Fee dipecat dan keluar dari Indonesia. Salah satu yang disuarakan mereka, selama ini UNAIDS tidak memberikan kontribusi nyata bagi penanggulangan AIDS di Indonesia.
Akhirnya, pada Desember, pasal di Raperdasi Provinsi Papua mengenai microchip dibatalkan, setelah banyak advokasi oleh orang di seluruh Indonesia. Tema Hari AIDS Sedunia 2008 ditetapkan oleh ???? sebagai ‘Yang Muda Yang Membuat Perubahan’. Tema internasional tetap ‘Stop AIDS. Keep the Promise’ dengan fokus pada kepemimpinan, sama seperti dua tahun sebelumnya. KPAN, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan DKT Indonesia menggelar Pekan Kondom Nasional (PKN) ke-2 yang diadakan pada minggu pertama Desember. Kegiatan ini diawali dengan Konferensi Kondom pada 1 Desember 2008 yang dibuka Menkokesra Aburizal Bakrie. Namun kegiatan ini dilawan dengan Kampanye Antikondomisasi, dengan konferensi pers berjudul “Stop Kondomisasi untuk Penyebaran HIV/AIDS” oleh LSM Merc. Pada akhir 2008, dilaporkan 17.880 Odha pernah mulai ART, dengan 10.616 (59%) masih memakainya.
Dilihat dari sejarah AIDS itu sendiri di Indonesia sangatlah mempengaruhi kesehatan yang ada di Indonesia, oleh karena itu diskriminasi lingkungan untuk kaum AIDS harus segera dihilangkan dengan membimbing mereka dan menyayangi mereka agar tidak merasa terkucilkan









PENATAAN LINGKUNGAN SOSIAL DAN BUDAYA

Penyebutan yang cenderung dikenal untuk penataan lingkungan sosial dan budaya ini adalah ‘social and cultural caring ‘. ‘Caring’ atau perhatian perlu diberikan secara sosial dan budaya bagi penderita gangguan jiwa dalam upaya membantu adaptasi mereka dengan lingkungan sosial. Dalam konteks ‘social and cultural caring ‘, seorang ahli antropologi berusaha menumbuhkan atau mengembangkan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat, baik secara sosial dan budaya untuk memberikan bantuan melalui cara penataan lingkungan bagi penderita gangguan jiwa. Dalam pembahasan ini, gangguan jiwa tersebut difokuskan kepada orang-orang lanjut usia yang menderita pikun dan retardasi mental. ‘Social and cultural caring’ yang dimaksud adalah dengan mengkondisikan lingkungan sosial si penderita gangguan jiwa supaya keluarga dan masyarakat sekitarnya dapat memelihara dan menghargai mereka (si penderita gangguan jiwa). Dengan adanya rasa penghargaan tersebut, si penderita gangguan jiwa dapat merasa berfungsi dan berguna dan dalam interaksi yang ideal dapat membuat mereka merasa mempunyai peranan di dalam keluarga dan masyarakatnya.

Penekanan pada pentingnya segi-segi sosial dikemukakan juga oleh psikiatri Dadang Hawari. Hawari (1973) mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan psikiatri (‘community psychiatry’) banyak menitikberatkan kepada segi-segi sosial dalam pengobatan kepada mereka yang mengalami gangguan jiwa. Dalam psikiatri moderen ini, perawatan penderita dalam masyarakat (‘community care’) diusahakan dengan berbagai cara (metode) agar penderita lebih lama tinggal di masyarakat dan sesingkat mungkin tinggal dalam rumah sakit, dan untuk itu perlu diciptakan suatu keadaan lingkungan yang memungkinkan tidak kembalinya penyakit si penderita (Hawari 1983). Peranan masyarakat yang dinamis sangat diperlukan bagi penderita pikun dan retardasi mental ini. Hal ini disebabkan karena peranan masyarakat itu jauh lebih baik dalam banyak hal terutama dalam membantu proses adaptasi bagi penderita gangguan jiwa (pikun dan retardasi mental) tersebut. Peranan orang-orang di sekitar si penderita ganngguan jiwa akan lebih besar apabila dibandingkan dengan peranan rumah sakit (‘hospital care‘). Rumah sakit kurang dapat membantu perkembangan optimal dan proses adaptasi dari penderita pikun dan retardasi mental. Demikian juga dengan peranan yayasan-yayasan atau panti-panti atau sekolah-sekolah luar biasa (khusus untuk anak penderita retardasi mental). Secara sosial budaya tidak dapat dipungkiri bahwa pada berbagai masyarakat tertentu ditemukan adanya pengabaian pengabaian bagi penderita pikun dan retardasi mental. Pengabaian ini dikarenakan para penderita pikun dan retardasi mental ini tidak dapat berfungsi secara produktif. Ketidakberfungsian mereka ini cenderung juga menyebabkan beberapa keluarga yang memiliki kerabat yang menderita pikun dan retardasi mental ini merasa malu kepada anggota masyarakat lainnya dan cenderung menutupi atau mengucilkan si penderita dari pergaulan sosial.
Pada kondisi dimana si penderita pikun dan raetardasi mental ini diabaikan, maka disitulah letak peran seorang ahli antropologi yang lebih konkrit. Seorang ahli anropologi dapat membantu para penderita pikun dan retardasi mental ini dan pihak keluarga mereka dalam menangani masalah-masalah yang mereka hadapi secara sosial dan budaya dalam konteks ‘social and cultural caring ‘. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat bahwa pelayanan kesehatan adalah merupakan salah satu fungsi dari beberapa fungsi keluarga inti maupun keluarga luas, di dalamnya terkandung azas-azas, nilai-nilai budaya dan norma-norma kehidupan keluarga. Hal ini juga mempengaruhi dan mengatur sistem pelayanan kesehatan keluarga (Koentjaraningrat 1982).

‘Social and Cultural Caring’ bagi Para Lanjut Usia yang Mengalami Gangguan Mental Akibat ‘Dimensia’ (Pikun)




Lansia Dimensia
Proses menua (‘aging-process’) atau menjadi tua adalah salah satu proses di dalam kehidupan yang cenderung tidak dapat dihindari oleh manusia. Menurut Setiawan (1973), timbulnya perhatian pada orang-orang usia lanjut dikarenakan adanya sifat-sifat atau faktor-faktor khusus yang mempengaruhi kehidupan pada usia lanjut. Perhatian atau minat khusus terhadap orang-orang usia lanjut ini menimbulkan cabang baru dalam ilmu psikiatri orang-orang tua yaitu ‘geriatricpsychiatry = geropsychiatry’ (Setiawan 1973: 51).
Lanjut usia (lansia) merupakan salah satu fase kehidupan yang dialami oleh individu yang berumur panjang. Lansia tidak hanya meliputi aspek biologis, tetapi juga psikologis dan sosial. Menurut Laksamana (1983:77), perubahan yang terjadi pada lansia dapat disebut sebagai perubahan ‘senesens‘ dan perubahan ‘senilitas’. Perubahan ‘senesens’ adalah perubahan-perubahan normal dan dan fisiologik akibat usia lanjut. Perubahan ‘senilitas’ adalah perubahan-perubahan patologik permanen dan disertai dengan makin memburuknya kondisi badan pada usia lanjut. Sementara itu, perubahan yang dihadapi lansia pada umumnya dalah pada bidang klinik, kesehatan jiwa dan problema bidang sisio ekonomi. Oleh karena itu lansia adalah kelompok dengan resiko tinggi terhadap problema fisik dan mental.
Pikun adalah salah satu akibat yang terjadi akibat ‘dimensia sinilis’, yaitu salah satu problema bidang kesehatan jiwa. ‘Dimensia sinilis’ ini terjadi karena melemahnya fungsi-fungsi organik yang terjadi secara beruntun. Melemahnya fungsi organik ini mengakibatkan terjadinya kemunduran intelektual dan juga menyebabkan terjadinya desintegrasi kepribadian.
Menurut Setiawan (1973), ’dimensia sinilis’ cenderung lebih sering terjadi pada wanita, terutama wanita dengan usia di atas 60 tahun. Gejalanya dapat ringanringan saja, tetapi sering disertai tanda-tanda dari pola reaksi lama yang dapat menimbulkan gangguan psikose, neurotik, atau gangguan pada tingkah laku Pada kondisi ‘dimensia’ , para lansia cenderung sering menggabungkan realitas-realitas yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Misalnya, si penderita cenderung menjawab sesuatu persoalan lain dan berbeda dari persoalan yang ditanyakan kepadanya. Si penderita ‘dimensia’ juga cenderung bertanya mengenai sesuatu hal yang sama secara berturut-turut dalam selang waktu beberapa menit. Pada saat-saat tertentu, si penderita juga dapat bertindak seperti anak-anak, dan masih banyak lagi beberapa tinngkah laku lainnya yang ditunjukkan para penderita ‘dimensia’ ini.
Secara umum, para lansia ‘dimensia’ atau para lansia penderita pikun ini cenderung sangat menyusahkan bagi keluarganya dan juga dianggap mengganggu bagi masyarakat di sekitarnya. Adakalanya para lansia ‘dimensia’ ini tidak diperdulika, diterlantarkan atau dikirim oleh keluarga mereka ke panti-panti penampungan tanpa perhatian sama sekali.

Antropologi dan Perannya
Pada situasi seperti ini, seorang ahli antropologi mempunyai fungsi khusus dari segi sosial budaya. Seorang ahli antropologi dapat membantu si penderita agar mereka dapat diterima di kalangan keluarga dan masyarakatnya. Dalam hal ini ahli antropologi dapat menempuh beberapa langkah awal, seperti: meihat bagaimana masayarakat memandang dan memperlakukan si penderita ‘dimensia’ dan anggota keluarganya, bagaimana anggota keluarga tersebut memperlakukan keluarga mereka yang mengalami ‘dimensia’, apakah si penderita diperlakukan dengan baik atau diperlakukan dengan buruk.
Seorang ahli antropologi dalam hal ini dapat mengusahakan bagaimana lansia ‘dimensia’ bisa diterima dan dirawat oleh keluarganya dan masyarakat. Untuk itu diperlukan pendekatan-pendekatan terhadap kelurga si pasien ataupun dengan masyarakat di lingkungan sosialnya. Pendekatan-pendekatan ini diperlukan karena para lansia penderita ‘dimensia’ ini harus diberi dukungan sosial agar fungsionalnya dapat dicapai dengan cara penataan lingkungan sosial atau cara hidup. Dalam hal ini tentu saja si antropolog harus melihat defenisi tua dan tidak tua sesuai dengan konsep kelompok masyarakat tersebut secara budaya. Dengan demikian konsep tua dan tidak tua diperluas, tidak hanya mencakup kategori usia semata. Faktor penekanan pada dukungan sosial menjadi penting bagi para lansia ‘dimensia’ ini. Menurut Laksamana dan Hartono (1983:80), problema sosial adalah merupakan problema terbesar bagi para usia lanjut. Kebutuhan-kebutuhan sosial menjadi penting bagi mereka, meskipun pada hakekatnya kebutuhan-kebutuhan tersebut sama dengan yang terdapat pada fase-fase lain kehidupan manusia. Hal ini perlu mendapat perhatian karena situasi (kondisi fisik, dalam rumah perawatan dan lain-lain) menyebabkan kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak mudah terpenuhi.
Beberapa kebutuhan sosial penting bagi para lansia adalah: (1) para individu usia lanjut memerlukan penghargaan, perasaan bahwa dirinya tetap berguna dan diperlukan, (2) para individu usia lanjut memerlukan suatu interes/tanggung jawab yang dapat memberikan status tertentu pada dirinya, (3) para individu usia lanjut memerlukan kasih sayang dan persahabatan, (4) para individu usia lanjut menginginkan rasa dirinya dapat berperan baik secra fisik, sosial dan mental (Laksamana dan Hartono 1983:80). Penekanan pada peran keluarga dan masyarakat menjadi penting dari segi ‘social and cultural caring’ untuk mendapatakan dukungan sosial ini. Menurut Laksamana dan Hartomo (1983:80), dari data yang diperoleh 63 % para individu usia lanjut ini hidup bersama keluarga mereka masing-masing, lebih dari 30% hidup sendiri (diantaranya sebahagian besar adalah para janda) dan sekitar 7% hidup di berbagai institusi (rumah perawatan, R.S Jiwa dan tempat khusus untuk para usia lanjut). Tampaknya beberapa individu usia lanjut cenderung lebih senang hidup terpisah dari anak-anak mereka, tetapi yang cukup dekat untuk suatu kunjungan. Pengabaian terhadap lansia penderita ‘dimensia’ ini adakalanya juga bersifat menjadi beban keluarganya, keluarga merasa malu, dan penderita cenderung diasingkan. Kondisi ini membuat para lansia penderita ‘dimensia’ menjadi lebih tersiksa secara psikologis.
Jika lansia penderita ‘dimensia’ diabaikan, proses degenerasi kepribadian yang dialami cenderung akan lebih cepat. Sebaiknya diusahakan agar mereka berfungsi sampai tua sehingga proses degenerasi kepribadian menjadi lebih lamban. Para lansia walaupun menderita ‘dimensia’ harus diperlakukan seolah-olah mereka merasa dibutuhkan (‘being needed’). Dalam konteks ‘social and cultural caring’, ahli antropologi dapat mengusahakan meningkatkan peran keluarga dan masyarakat secara sosial budaya. Antropolog dapat mengusahakan cara agar sikap masyarakat jangan terjerumus menyerahkan si penderita ke rumah sakit jiwa atau panti-panti khusus (walaupun itu dapat dijadikan sebagai alternatif lain).
Konteks sosial budaya sebagai ‘caring’ (memperhatikan) menjadi penting; misalnya bagaimana dan apa yang dikerjakan keluarga atas orang-orang lanjut usia penderita ‘dimensia’ , apa saja nilai yang dijadikan landasan untuk berprilaku terhadap para lansia ‘dimernsia’.Perhatian dapat ditingkatkan dengan menumbuhkan kembali nilai-nilai budaya (adat-istiadat), yaitu dengan melihat landasan budaya bahwa menjaga orang tua lansia adalah kewajiban keluarga menurut adat. Perhatian dapat pula ditumbuhkan dari segi agama (kepercayaan) dan juga moral, yaitu dengan menambahkan perhatian untuk lansia (umumnya) dan ‘dimernsia’ (khususnya) adalah suatu kewajiban sebagai penghormatan terhadap orang tua. Dapat juga dengan menciptakan kondisi kehidupan keluarga yang akrab dan saling memberi perhatian terhadap lansia penderita ‘dimensia’, dalam penataan cara-cara hidup. Bentuk perhatian lainnya juga dapat diberikan dengan meningkatkan peran organisasi-organisasi keagamaan, khususnya kelompok remaja dan wanita dengan landasan norma-norma agama untuk memperhatikan lansia.
Ditekankan suatu nilai bahwa memberi perhatian pada lansia’dimensia’ adalah suatu perbuatan mulia yang merupakan kewajiban dan kebajikan. Kesemuanya ini diperlukan dalam rangka penyesuaian diri penderita dan mereka membutuhkan dorongan moril dan semangat untuk meningkatkan kehidupan sosial mereka dan meningkatkan ke-fungsional-an mereka secara optimal.

‘Social and Cultural Caring’ bagi Penderita Retardasi Mental



Masalah retardasi mental perlu mendapat perhatian karena beberapa tulisantulisan dalam bidang psikiatri sejak periode 1981 telah mengemukakan bahwa retardasi mental merupakan masalah yang cukup besar di Indonesia, namun diakui bahwa tidak ada data yang lengkap tentang jumlah penderita retardasi mental di Indonesia. Ketidaklengkapan data ini diakui oleh para psikiater disebabkan karena tidak semua penderita retardasi mental dapat tercatat. Pencatatan jumlah penderita hanya dapat dilakukan atas mereka yang datang berobat untuk meminta pertolongan dan mereka yang masuk sekolah luar biasa (Budhiman 1981:17). Menurut Budhiman, sebab utama dari retardasi mental di Indonesia adalah penyakit infeksi pada susunan syaraf pusat, seperti meningitis atau encephalitis, dan malnutrisi pada ibu-ibu yang hamil maupun pada bayinya yang lahir. Melihat insidensi penyakit infeksi dan malnutrisi masih sangat tinggi di Indonesia, maka dapat diperkirakan bahwa penderita retardasi mental sangat banyak jumlahnya (Budhiman 1981:79).
Retardasi mental (RTA) disebut juga ‘oligophrenis’. Retardasi mental dapat diketahui terjadi pada seseorang anak dengan melihat beberapa kelainan yang dideritanya sejak masih kecil. Seorang anak disebut menderita retardasi mental bila mengalami kelainan seperti; (1) perkembangan intelektual yang terhambat jika dibandingkan dengan anak normal. Dalam hal ini yang dimaksud adalah ukuran kemajuan tingkat IQ yang kurang dari 70, dimana nilai ini didapatkan dengan emeriksaan yang teliti, akurat, individual, dan telah dilakukan secara berulangulang, serta keadaan klinis mendukung hasil pemeriksaan tersebut, (2) terhambatnya kemampuan si anak dalam hal adaptasi diri secara umum terhadap lingkungan, dan (3) proses keterhambatan adaptasi ini cenderung terjadi pada masa perkembangan individu dalam proses pendewasaan atau terjadi sebelun si individu berusia 18 tahun (Yusuf 1986; Budhiman 1981; Roan 1979). Anak dengan retardasi mental bukannya anak yang tidak dapat berkembang menjadi individu dewasa, akan tetapi anak retardasi mental nantinya juga akan menjadi individu dewasa dengan retardasi mental mental pula. Hal ini yang harus kita sadari sepenuhnya. Anak dengan retardasi mental sebenarnya tidaklah semua bagian dari intelektualnya tidak dapat dikembangkan, akan tetapi dengan suatu tindakan dan penanganan khusus bagian-bagian yang masih dapat dikembangkan, diusahakan untuk terus dipacu dan dikembangkan sesuai dengan kemampuan perkembangan anak. Atas dasar inilah penanganan anak dengan retardasi mental membutuhkan suatu penanganan khusus dibandingkan dengan penanganan anak normal. Tujuan dari penanganan anak dengan retardasi mental adalah mengembangkan kemampuan optimal dari intelektualnya, agar nanti dapat mencapai kemampuan adaptasi yang optimal pula (Yusuf 1986:59).
Yusuf (1986:59-60) juga mengatakan bahwa penangana khusus dengan upaya yang maksimal dan dana yang demikian besar tidaklah akan menjadikan seorang anak dengan retardasi mental menjadi anak normal. Hal yang harus ditekankan di sini adalah anak dengan retardasi mental harus berkembang secara otimal, sesuai dengan kemampuan yang ada pada anak tersebut.
Menurut Santoso (1981), retardasi mental juga dapat dipandang dari 3 (tiga) sudut; (1) medik (sebab-sebabnya dari dalam diri individu), (2) tingkah laku (kesukaran belajar, tidak responsif), dan (3) sosial (perbedaan distribusi variabel sosio-ekonomi, budaya, non-klinik dan di luar diri individu). Persoalan yang dihadapi tetap selalu ada, baik itu pada masa anak-anak dan juga dewasa.
Banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan optimal perkembangan anak dengan retardasi mental, diantaranya; (1) faktor dari anak itu sendiri: ditentukan oleh derajat gangguan yang terjadi. Semakin berat semakin sulit kemampuan adaptasinya, (2) faktor dari keluarga: Apakah keluarga merupakan lingkungan yang cukup memberi stimulasi dan memberi kesempatan berkembang secara optimal atau malah sebaliknya, dimana keluarga malah menghambat perkembangan yang wajar dan bersikap keliru baik disadari atau tidak disadari, (3) faktor institusi: dalam hal ini institusi/sekolah yang mendidik dan melatih mereka dan berusaha mengembangkan kemampuan adaptasinya secara optimal. Faktor ini masih tergantung dari bagaimana para guru dan pengelola sekolah menangani mereka, (4) faktor masyarakat: apakah masyarakat mau menerima dan berpartisipasi terhadap penanganan anak-anak dengan retardasi mental atau sebaliknya.
Faktor-faktor di atas sebenarnya sulit untuk dipisahkan satu sama lain, karena masing-masing faktor saling berkaitan dan saling pengaruh menpengaruhi. Banyak sekali dalam beberapa kasus-kasus yang ditemukan, dimana anak dengan retardasi mental sulit sekali untuk dikembangkan secara optimal. Setelah diteliti dan ditelusuri ternyata didapatkan gangguan keseimbangan (gangguan fungsional) dalam keluarga. Tanpa penanganan yang intensif terhadap keluarga, sulit untuk mengembangkan kemampuan anak dengan retardasi mental ini (Yusuf 1986:60). Di sinilah para antropolog dapat berperan penting, yaitu membantu penanganan anak agar dapat berkembang secara optimal melalui pendekatan-pendekatan khusus dari aspek keluarga dan masyarakat. Namun sebelum membahas hal-hal apa yang dapat dilakukan para antropolog, terlebih dahulu kita lihat apa yang terjadi dalam keluarga setelah mereka mengetahui bahwa anaknya mengalami retardasi mental.
Menurut Yusuf (1986:61), setelah diagnosis retardasi mental ditegakkan dengan pasti oleh seorang ahli, maka pada keluarga akan timbul suatu periode krisis. Periode krisis ini ada 3 tahapan. Pertama, tahap penolakan/penyangkalan. Orang tua tidak percaya atas apa yang disampaikan kepadanya tentang anaknya. Mereka bahkan akan menyangkalnya. Mereka berusaha mencari “akhli” yang lain akan menyatakan bahwa anaknya normal. Untuk itu orang tua akan pergi dari satu ahli ke ahli lain secara berganti-ganti, sampai akhirnya menyerah baik dengan terpaksa atau dengan sadar. Kedua, tahap duka cita dan kesedihan yang mendalam. Keadaan ini disebabkan oleh karena keadaan (a) anak yang tidak diharapkan, (b) merasa seolah-olah kehilangan sesuatu. Ada juga orang tua yang langsung masuk ke tahap duka cita ini tanpa melewati tahap penolakan.Keiga, tahap penerrimaan. Orang tua secara kenyataan menerima keadaan ini, baik secara sadar maupun secara terpaksa. Masing-masing tahapan memerlukan waktu yang berbeda untuk masing-masing keluarga Demikian pula berat ringannya periode krisis tersebut. Yusuf (1986:63) juga mengatakan bahwa pada periode krisis ini jelas seluruh keluarga, terutama orang tua dilanda stres yang cukup berat. Bila hal ini tidak dapat teratasi dengan baik, maka akan menimbulkan efek ketidaktentraman dalam keluarga. Hal ini jelas akan mengganggu/menghambat perkembangan anak dengan retardasi mental itu sendiri. Pada diri orang tua terdapat pertentangan/konflik antara: (a) keinginan yang kuat untuk mempunyai anak yang sehat, (b) secara simultan (bersama-sama) terjadi ketakutan dan kecemasan apabila apa yang dilakukan itu akan mengakibatkan suatu kesalahan bagi anak itu sendiri.


Antropologi dan Perannya
Dalam konteks ‘social and cultural caring’, seorang ahli antropologi mengusahakan bagaimana orang-orang penderita retardasi mental ini dapat diterima di lingkungan sosialnya. Antropolog dapat memulai kerja mereka dengan melihat bagaimana masyarakat menilai mereka sehubungan dengan ketidakmampuan mereka untuk berfungsi secara optimal. Bagaimana masyarakat melihat si penderita retardasi mental dan keluarganya. Bagaimana anggota keluarga tersebut memperlakukan si penderita retardasi mental; apakah dirawat, diperhatikan (diobati dan ditanggulangi) atau diabaikan dan dimanipulasi untuk mendapatkan bantuan (dana atau mengemis, dan lain-lain). ‘Caring’ atau perhatian secara sosial dan budaya dapat diupayakan dengan beberapa hal, terutama dengan pendekatan terhadap keluarga inti (‘nuclear family’ dan anggota masyarakat. Ahli antropologi dapat membantu proses diterimanya penderita retardasi mental ini sebagai bagian dari kehidupan masyarakat dengan cara mencoba mengajak masyarakat untuk turut serta dalam proses rehabilitasi para penderita retardasi mental.
Secara gotong royong, pihak keluarga dapat turut serta mengusahakan atau memebrdayakan mereka dalam kegiatan-kegiatan produktif tertentu. Kegiatan produktif ini disesuaikan dengan tingkat kemampuan si penderita retardasi mental. Dalam pelibatan si penderita dalam kegiatan produktif ini, pihak keluarga atau anggota masyarakat perlu memperhatikan beberapa hal yang sangat penting, yaitu. Pertama, bagaimana si penderita dapat bekerja dengan kapasitas maksimal. Misalnya, apakah si penderita mampu membuat sapu lidi, sapu ijuk, keset/ alas kaki, atau beberapa jenis kerajinan tangan lainnya yang tidak terlalu rumit proses pembuatannya. Kedua, pihak keluarga atau masyarakat harus membuat si penderita mampu menyesuaikan diri dengan anggota masyarakat lainnya secara memuaskan. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar si penderita mampu berinteraksi dengan lingkungannya secara baik. Dengan interaksi yang baik, si penderta akan mampu merasa nyaman dan dapat dibantu untuk mengembangkan kemampuannya sampai pada tingkat yang maksimal.
Penderita retardasi mental harus diberi dukungan sosial dari lingkungan sosialnya agar mereka mampu mencapai kemampuan fungsional setinggi mungkin. Dalam hal ini, si penderita harus diberi kesempatan, baik itu secara edukasional maupun secara vokasional. Dukungan secara edukasional dapat dilakukan dengan cara mendidik kembali si penderita mengenai cara-cara agar dia dapat hidup senormal mungkin dalam proses rehabilitasi untuk menjadi ‘orang baru’. Secara vokasional, dukungan sosial dapat dilakukan engan melakukan ‘training’ atau melatih penderita supaya mampu untuk menolong diri sendiri. Dalam hal ini si penderita dilatih dengan tujuan agar dia dapat mencapai kemampuan fungsional setinggi mungkin (dalam mencari nafkah misalnya). Antropolog dapat membantu pihak keluarga ataupun masyarakat lainnya untuk memberdayakan kembali para penderita retardasi mental ini. Antropolog dapat memberi bantuan konkrit dalam upaya mengkondisikan lingkungan yang memberi ‘caring’ (perhatian) pada penderita baik secara sosial maupun kultural. Hal ini perlu diupayakan mengingat adanya tanggapan-tanggapan masyarakat yang menilai bahwa penderita retardasi mental dianggap sebagai kutukan. Penialaian atau anggapan seperti ini adalah pengaruh dari budaya kelompok masyarakat yang bersangkutan. Terdapat juga beberapa kelompok masyarakat lain yang menganggap bahwa anak dengan retardasi mental adalah sebagai karunia atau keberuntungan.
Beberapa kelompok masyarakat lainnya menganggap anak dengan retardasi mental adalah penyakit turunan. Tanggapan dan penilaian seperti di atas akan menentukan sikap orang tua, keluarga dan anggota masyarakat lainnya terhadap si penderita retardasi mental. Tanggapan negatif yang menganggap penderita retardasi mental adalah kutukan akan cenderung mengabaikan perhatian terhadap penderita. Pengabaian perhatian ini akan menyebabkan si penderita retardasi mental akan disisihkan dari lingkungan sosial mereka. Pihak orang tua dan keluarga akan merasa malu terhadap keberadaan si anak atau anggota keluarga mereka yang mendertita retardasi mental. Mereka akan berusaha menutup-nutupi keberadaan si penderita karena merasa takut akan dikucilkan oleh anggota masyarakat lainnya akibat adanya kutukan tersebut pada salah satu anggota keluarga mereka.
Dalam hal pengabaian perhatian terhadap penderita retardasi mental ini, antropolog dapat membantu untuk mengupayakan timbulnya suatu perubahan sikap dan pandangan baru. Pandangan dan sikap baru didiharapkan timbul dari phak orang tua, keluarga/kerabat dan anggota masyarakat lainnya. Pandangan dan sikap baru yang diharapkan adalah suatu kesadaran baru bahwa penderita retardasi mental ini bukanlah suatu kutukan, bukan merupakan aib yang memalukan dan tidak harus ditutup-tutupi dan bukanlah semata-mata merupakan penyakit turunan. Antropolog berusaha menanamkan suatu nilai baru bahwa penderita retardasi mental juga merupakan individu yang perlu mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang khusus.
Antropolog dapat memberikan informasi mengenai nilai atau sikap dan pandangan baru tersebut. Penanganan awal dapat dimulai dari orang tua dan keluarga dekat dengan cara penataan cara hidup. Beberapa langkah awal tersebut antara lain adalah dengan menanamkan nilai-nilai budaya positif, kepercayaan moral sebagai landasan prilaku perhatian pada anak cacat mental, seperti; kewajiban memelihara, mendidik, tanggung jawab, dan menekankan nilai-nilai agama bahwa semua manusia adalah ciptaan Tuhan dengan kelebihan dan kekurangan masingmasing.
Selain upaya-upaya yang dilakukan di atas, perhatian yang juga sangat perlu adalah upaya membantu si penderita agar para anak cacat mental ini mampu mandiri bagi keperluan pribadi mereka yang mendasar. Keperluan pribadi tersebut meliputi; membimbing untuk mampu makan sendiri, mengenakan pakaian sendiri dan akhirnya mampu menyesuaikan diri dalam lingkungan sosialnya. Dalam hal ini pendekatan yang dilakukan terarah kepada keluarga dan masyarakat, yaitu dalam hal memberi dukungan sosial. Dengan dukungan sosial ini, keluarga dan masyarakat secara bersama-sama membangun kembali keberdayaan penderita melalui penghargaan dan penilaian positip yang diberikan kepada si penderita retardasi mental dan juga pihak keluarga si penderita. Pemberdayaan seperti ini merupakan suatu proses sosialisasi yang sangat baik bagi penderita retardasi mental dalam memberikan ruang bagi si penderita untuk mengembangkan kemampuannya. Dengan memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri, maka si penderita akan merasa berfungsi dan dihargai. Dengan demikian akan sangat membantu si penderita dalam proses interaksi dan adaptasinya dengan lingkungan sosial di mana mereka tinggal.