Tuesday, November 20, 2012

PENATAAN LINGKUNGAN SOSIAL DAN BUDAYA

Penyebutan yang cenderung dikenal untuk penataan lingkungan sosial dan budaya ini adalah ‘social and cultural caring ‘. ‘Caring’ atau perhatian perlu diberikan secara sosial dan budaya bagi penderita gangguan jiwa dalam upaya membantu adaptasi mereka dengan lingkungan sosial. Dalam konteks ‘social and cultural caring ‘, seorang ahli antropologi berusaha menumbuhkan atau mengembangkan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat, baik secara sosial dan budaya untuk memberikan bantuan melalui cara penataan lingkungan bagi penderita gangguan jiwa. Dalam pembahasan ini, gangguan jiwa tersebut difokuskan kepada orang-orang lanjut usia yang menderita pikun dan retardasi mental. ‘Social and cultural caring’ yang dimaksud adalah dengan mengkondisikan lingkungan sosial si penderita gangguan jiwa supaya keluarga dan masyarakat sekitarnya dapat memelihara dan menghargai mereka (si penderita gangguan jiwa). Dengan adanya rasa penghargaan tersebut, si penderita gangguan jiwa dapat merasa berfungsi dan berguna dan dalam interaksi yang ideal dapat membuat mereka merasa mempunyai peranan di dalam keluarga dan masyarakatnya.

Penekanan pada pentingnya segi-segi sosial dikemukakan juga oleh psikiatri Dadang Hawari. Hawari (1973) mengatakan bahwa kegiatan-kegiatan psikiatri (‘community psychiatry’) banyak menitikberatkan kepada segi-segi sosial dalam pengobatan kepada mereka yang mengalami gangguan jiwa. Dalam psikiatri moderen ini, perawatan penderita dalam masyarakat (‘community care’) diusahakan dengan berbagai cara (metode) agar penderita lebih lama tinggal di masyarakat dan sesingkat mungkin tinggal dalam rumah sakit, dan untuk itu perlu diciptakan suatu keadaan lingkungan yang memungkinkan tidak kembalinya penyakit si penderita (Hawari 1983). Peranan masyarakat yang dinamis sangat diperlukan bagi penderita pikun dan retardasi mental ini. Hal ini disebabkan karena peranan masyarakat itu jauh lebih baik dalam banyak hal terutama dalam membantu proses adaptasi bagi penderita gangguan jiwa (pikun dan retardasi mental) tersebut. Peranan orang-orang di sekitar si penderita ganngguan jiwa akan lebih besar apabila dibandingkan dengan peranan rumah sakit (‘hospital care‘). Rumah sakit kurang dapat membantu perkembangan optimal dan proses adaptasi dari penderita pikun dan retardasi mental. Demikian juga dengan peranan yayasan-yayasan atau panti-panti atau sekolah-sekolah luar biasa (khusus untuk anak penderita retardasi mental). Secara sosial budaya tidak dapat dipungkiri bahwa pada berbagai masyarakat tertentu ditemukan adanya pengabaian pengabaian bagi penderita pikun dan retardasi mental. Pengabaian ini dikarenakan para penderita pikun dan retardasi mental ini tidak dapat berfungsi secara produktif. Ketidakberfungsian mereka ini cenderung juga menyebabkan beberapa keluarga yang memiliki kerabat yang menderita pikun dan retardasi mental ini merasa malu kepada anggota masyarakat lainnya dan cenderung menutupi atau mengucilkan si penderita dari pergaulan sosial.
Pada kondisi dimana si penderita pikun dan raetardasi mental ini diabaikan, maka disitulah letak peran seorang ahli antropologi yang lebih konkrit. Seorang ahli anropologi dapat membantu para penderita pikun dan retardasi mental ini dan pihak keluarga mereka dalam menangani masalah-masalah yang mereka hadapi secara sosial dan budaya dalam konteks ‘social and cultural caring ‘. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Koentjaraningrat bahwa pelayanan kesehatan adalah merupakan salah satu fungsi dari beberapa fungsi keluarga inti maupun keluarga luas, di dalamnya terkandung azas-azas, nilai-nilai budaya dan norma-norma kehidupan keluarga. Hal ini juga mempengaruhi dan mengatur sistem pelayanan kesehatan keluarga (Koentjaraningrat 1982).

‘Social and Cultural Caring’ bagi Para Lanjut Usia yang Mengalami Gangguan Mental Akibat ‘Dimensia’ (Pikun)




Lansia Dimensia
Proses menua (‘aging-process’) atau menjadi tua adalah salah satu proses di dalam kehidupan yang cenderung tidak dapat dihindari oleh manusia. Menurut Setiawan (1973), timbulnya perhatian pada orang-orang usia lanjut dikarenakan adanya sifat-sifat atau faktor-faktor khusus yang mempengaruhi kehidupan pada usia lanjut. Perhatian atau minat khusus terhadap orang-orang usia lanjut ini menimbulkan cabang baru dalam ilmu psikiatri orang-orang tua yaitu ‘geriatricpsychiatry = geropsychiatry’ (Setiawan 1973: 51).
Lanjut usia (lansia) merupakan salah satu fase kehidupan yang dialami oleh individu yang berumur panjang. Lansia tidak hanya meliputi aspek biologis, tetapi juga psikologis dan sosial. Menurut Laksamana (1983:77), perubahan yang terjadi pada lansia dapat disebut sebagai perubahan ‘senesens‘ dan perubahan ‘senilitas’. Perubahan ‘senesens’ adalah perubahan-perubahan normal dan dan fisiologik akibat usia lanjut. Perubahan ‘senilitas’ adalah perubahan-perubahan patologik permanen dan disertai dengan makin memburuknya kondisi badan pada usia lanjut. Sementara itu, perubahan yang dihadapi lansia pada umumnya dalah pada bidang klinik, kesehatan jiwa dan problema bidang sisio ekonomi. Oleh karena itu lansia adalah kelompok dengan resiko tinggi terhadap problema fisik dan mental.
Pikun adalah salah satu akibat yang terjadi akibat ‘dimensia sinilis’, yaitu salah satu problema bidang kesehatan jiwa. ‘Dimensia sinilis’ ini terjadi karena melemahnya fungsi-fungsi organik yang terjadi secara beruntun. Melemahnya fungsi organik ini mengakibatkan terjadinya kemunduran intelektual dan juga menyebabkan terjadinya desintegrasi kepribadian.
Menurut Setiawan (1973), ’dimensia sinilis’ cenderung lebih sering terjadi pada wanita, terutama wanita dengan usia di atas 60 tahun. Gejalanya dapat ringanringan saja, tetapi sering disertai tanda-tanda dari pola reaksi lama yang dapat menimbulkan gangguan psikose, neurotik, atau gangguan pada tingkah laku Pada kondisi ‘dimensia’ , para lansia cenderung sering menggabungkan realitas-realitas yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Misalnya, si penderita cenderung menjawab sesuatu persoalan lain dan berbeda dari persoalan yang ditanyakan kepadanya. Si penderita ‘dimensia’ juga cenderung bertanya mengenai sesuatu hal yang sama secara berturut-turut dalam selang waktu beberapa menit. Pada saat-saat tertentu, si penderita juga dapat bertindak seperti anak-anak, dan masih banyak lagi beberapa tinngkah laku lainnya yang ditunjukkan para penderita ‘dimensia’ ini.
Secara umum, para lansia ‘dimensia’ atau para lansia penderita pikun ini cenderung sangat menyusahkan bagi keluarganya dan juga dianggap mengganggu bagi masyarakat di sekitarnya. Adakalanya para lansia ‘dimensia’ ini tidak diperdulika, diterlantarkan atau dikirim oleh keluarga mereka ke panti-panti penampungan tanpa perhatian sama sekali.

Antropologi dan Perannya
Pada situasi seperti ini, seorang ahli antropologi mempunyai fungsi khusus dari segi sosial budaya. Seorang ahli antropologi dapat membantu si penderita agar mereka dapat diterima di kalangan keluarga dan masyarakatnya. Dalam hal ini ahli antropologi dapat menempuh beberapa langkah awal, seperti: meihat bagaimana masayarakat memandang dan memperlakukan si penderita ‘dimensia’ dan anggota keluarganya, bagaimana anggota keluarga tersebut memperlakukan keluarga mereka yang mengalami ‘dimensia’, apakah si penderita diperlakukan dengan baik atau diperlakukan dengan buruk.
Seorang ahli antropologi dalam hal ini dapat mengusahakan bagaimana lansia ‘dimensia’ bisa diterima dan dirawat oleh keluarganya dan masyarakat. Untuk itu diperlukan pendekatan-pendekatan terhadap kelurga si pasien ataupun dengan masyarakat di lingkungan sosialnya. Pendekatan-pendekatan ini diperlukan karena para lansia penderita ‘dimensia’ ini harus diberi dukungan sosial agar fungsionalnya dapat dicapai dengan cara penataan lingkungan sosial atau cara hidup. Dalam hal ini tentu saja si antropolog harus melihat defenisi tua dan tidak tua sesuai dengan konsep kelompok masyarakat tersebut secara budaya. Dengan demikian konsep tua dan tidak tua diperluas, tidak hanya mencakup kategori usia semata. Faktor penekanan pada dukungan sosial menjadi penting bagi para lansia ‘dimensia’ ini. Menurut Laksamana dan Hartono (1983:80), problema sosial adalah merupakan problema terbesar bagi para usia lanjut. Kebutuhan-kebutuhan sosial menjadi penting bagi mereka, meskipun pada hakekatnya kebutuhan-kebutuhan tersebut sama dengan yang terdapat pada fase-fase lain kehidupan manusia. Hal ini perlu mendapat perhatian karena situasi (kondisi fisik, dalam rumah perawatan dan lain-lain) menyebabkan kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak mudah terpenuhi.
Beberapa kebutuhan sosial penting bagi para lansia adalah: (1) para individu usia lanjut memerlukan penghargaan, perasaan bahwa dirinya tetap berguna dan diperlukan, (2) para individu usia lanjut memerlukan suatu interes/tanggung jawab yang dapat memberikan status tertentu pada dirinya, (3) para individu usia lanjut memerlukan kasih sayang dan persahabatan, (4) para individu usia lanjut menginginkan rasa dirinya dapat berperan baik secra fisik, sosial dan mental (Laksamana dan Hartono 1983:80). Penekanan pada peran keluarga dan masyarakat menjadi penting dari segi ‘social and cultural caring’ untuk mendapatakan dukungan sosial ini. Menurut Laksamana dan Hartomo (1983:80), dari data yang diperoleh 63 % para individu usia lanjut ini hidup bersama keluarga mereka masing-masing, lebih dari 30% hidup sendiri (diantaranya sebahagian besar adalah para janda) dan sekitar 7% hidup di berbagai institusi (rumah perawatan, R.S Jiwa dan tempat khusus untuk para usia lanjut). Tampaknya beberapa individu usia lanjut cenderung lebih senang hidup terpisah dari anak-anak mereka, tetapi yang cukup dekat untuk suatu kunjungan. Pengabaian terhadap lansia penderita ‘dimensia’ ini adakalanya juga bersifat menjadi beban keluarganya, keluarga merasa malu, dan penderita cenderung diasingkan. Kondisi ini membuat para lansia penderita ‘dimensia’ menjadi lebih tersiksa secara psikologis.
Jika lansia penderita ‘dimensia’ diabaikan, proses degenerasi kepribadian yang dialami cenderung akan lebih cepat. Sebaiknya diusahakan agar mereka berfungsi sampai tua sehingga proses degenerasi kepribadian menjadi lebih lamban. Para lansia walaupun menderita ‘dimensia’ harus diperlakukan seolah-olah mereka merasa dibutuhkan (‘being needed’). Dalam konteks ‘social and cultural caring’, ahli antropologi dapat mengusahakan meningkatkan peran keluarga dan masyarakat secara sosial budaya. Antropolog dapat mengusahakan cara agar sikap masyarakat jangan terjerumus menyerahkan si penderita ke rumah sakit jiwa atau panti-panti khusus (walaupun itu dapat dijadikan sebagai alternatif lain).
Konteks sosial budaya sebagai ‘caring’ (memperhatikan) menjadi penting; misalnya bagaimana dan apa yang dikerjakan keluarga atas orang-orang lanjut usia penderita ‘dimensia’ , apa saja nilai yang dijadikan landasan untuk berprilaku terhadap para lansia ‘dimernsia’.Perhatian dapat ditingkatkan dengan menumbuhkan kembali nilai-nilai budaya (adat-istiadat), yaitu dengan melihat landasan budaya bahwa menjaga orang tua lansia adalah kewajiban keluarga menurut adat. Perhatian dapat pula ditumbuhkan dari segi agama (kepercayaan) dan juga moral, yaitu dengan menambahkan perhatian untuk lansia (umumnya) dan ‘dimernsia’ (khususnya) adalah suatu kewajiban sebagai penghormatan terhadap orang tua. Dapat juga dengan menciptakan kondisi kehidupan keluarga yang akrab dan saling memberi perhatian terhadap lansia penderita ‘dimensia’, dalam penataan cara-cara hidup. Bentuk perhatian lainnya juga dapat diberikan dengan meningkatkan peran organisasi-organisasi keagamaan, khususnya kelompok remaja dan wanita dengan landasan norma-norma agama untuk memperhatikan lansia.
Ditekankan suatu nilai bahwa memberi perhatian pada lansia’dimensia’ adalah suatu perbuatan mulia yang merupakan kewajiban dan kebajikan. Kesemuanya ini diperlukan dalam rangka penyesuaian diri penderita dan mereka membutuhkan dorongan moril dan semangat untuk meningkatkan kehidupan sosial mereka dan meningkatkan ke-fungsional-an mereka secara optimal.

‘Social and Cultural Caring’ bagi Penderita Retardasi Mental



Masalah retardasi mental perlu mendapat perhatian karena beberapa tulisantulisan dalam bidang psikiatri sejak periode 1981 telah mengemukakan bahwa retardasi mental merupakan masalah yang cukup besar di Indonesia, namun diakui bahwa tidak ada data yang lengkap tentang jumlah penderita retardasi mental di Indonesia. Ketidaklengkapan data ini diakui oleh para psikiater disebabkan karena tidak semua penderita retardasi mental dapat tercatat. Pencatatan jumlah penderita hanya dapat dilakukan atas mereka yang datang berobat untuk meminta pertolongan dan mereka yang masuk sekolah luar biasa (Budhiman 1981:17). Menurut Budhiman, sebab utama dari retardasi mental di Indonesia adalah penyakit infeksi pada susunan syaraf pusat, seperti meningitis atau encephalitis, dan malnutrisi pada ibu-ibu yang hamil maupun pada bayinya yang lahir. Melihat insidensi penyakit infeksi dan malnutrisi masih sangat tinggi di Indonesia, maka dapat diperkirakan bahwa penderita retardasi mental sangat banyak jumlahnya (Budhiman 1981:79).
Retardasi mental (RTA) disebut juga ‘oligophrenis’. Retardasi mental dapat diketahui terjadi pada seseorang anak dengan melihat beberapa kelainan yang dideritanya sejak masih kecil. Seorang anak disebut menderita retardasi mental bila mengalami kelainan seperti; (1) perkembangan intelektual yang terhambat jika dibandingkan dengan anak normal. Dalam hal ini yang dimaksud adalah ukuran kemajuan tingkat IQ yang kurang dari 70, dimana nilai ini didapatkan dengan emeriksaan yang teliti, akurat, individual, dan telah dilakukan secara berulangulang, serta keadaan klinis mendukung hasil pemeriksaan tersebut, (2) terhambatnya kemampuan si anak dalam hal adaptasi diri secara umum terhadap lingkungan, dan (3) proses keterhambatan adaptasi ini cenderung terjadi pada masa perkembangan individu dalam proses pendewasaan atau terjadi sebelun si individu berusia 18 tahun (Yusuf 1986; Budhiman 1981; Roan 1979). Anak dengan retardasi mental bukannya anak yang tidak dapat berkembang menjadi individu dewasa, akan tetapi anak retardasi mental nantinya juga akan menjadi individu dewasa dengan retardasi mental mental pula. Hal ini yang harus kita sadari sepenuhnya. Anak dengan retardasi mental sebenarnya tidaklah semua bagian dari intelektualnya tidak dapat dikembangkan, akan tetapi dengan suatu tindakan dan penanganan khusus bagian-bagian yang masih dapat dikembangkan, diusahakan untuk terus dipacu dan dikembangkan sesuai dengan kemampuan perkembangan anak. Atas dasar inilah penanganan anak dengan retardasi mental membutuhkan suatu penanganan khusus dibandingkan dengan penanganan anak normal. Tujuan dari penanganan anak dengan retardasi mental adalah mengembangkan kemampuan optimal dari intelektualnya, agar nanti dapat mencapai kemampuan adaptasi yang optimal pula (Yusuf 1986:59).
Yusuf (1986:59-60) juga mengatakan bahwa penangana khusus dengan upaya yang maksimal dan dana yang demikian besar tidaklah akan menjadikan seorang anak dengan retardasi mental menjadi anak normal. Hal yang harus ditekankan di sini adalah anak dengan retardasi mental harus berkembang secara otimal, sesuai dengan kemampuan yang ada pada anak tersebut.
Menurut Santoso (1981), retardasi mental juga dapat dipandang dari 3 (tiga) sudut; (1) medik (sebab-sebabnya dari dalam diri individu), (2) tingkah laku (kesukaran belajar, tidak responsif), dan (3) sosial (perbedaan distribusi variabel sosio-ekonomi, budaya, non-klinik dan di luar diri individu). Persoalan yang dihadapi tetap selalu ada, baik itu pada masa anak-anak dan juga dewasa.
Banyak sekali faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan optimal perkembangan anak dengan retardasi mental, diantaranya; (1) faktor dari anak itu sendiri: ditentukan oleh derajat gangguan yang terjadi. Semakin berat semakin sulit kemampuan adaptasinya, (2) faktor dari keluarga: Apakah keluarga merupakan lingkungan yang cukup memberi stimulasi dan memberi kesempatan berkembang secara optimal atau malah sebaliknya, dimana keluarga malah menghambat perkembangan yang wajar dan bersikap keliru baik disadari atau tidak disadari, (3) faktor institusi: dalam hal ini institusi/sekolah yang mendidik dan melatih mereka dan berusaha mengembangkan kemampuan adaptasinya secara optimal. Faktor ini masih tergantung dari bagaimana para guru dan pengelola sekolah menangani mereka, (4) faktor masyarakat: apakah masyarakat mau menerima dan berpartisipasi terhadap penanganan anak-anak dengan retardasi mental atau sebaliknya.
Faktor-faktor di atas sebenarnya sulit untuk dipisahkan satu sama lain, karena masing-masing faktor saling berkaitan dan saling pengaruh menpengaruhi. Banyak sekali dalam beberapa kasus-kasus yang ditemukan, dimana anak dengan retardasi mental sulit sekali untuk dikembangkan secara optimal. Setelah diteliti dan ditelusuri ternyata didapatkan gangguan keseimbangan (gangguan fungsional) dalam keluarga. Tanpa penanganan yang intensif terhadap keluarga, sulit untuk mengembangkan kemampuan anak dengan retardasi mental ini (Yusuf 1986:60). Di sinilah para antropolog dapat berperan penting, yaitu membantu penanganan anak agar dapat berkembang secara optimal melalui pendekatan-pendekatan khusus dari aspek keluarga dan masyarakat. Namun sebelum membahas hal-hal apa yang dapat dilakukan para antropolog, terlebih dahulu kita lihat apa yang terjadi dalam keluarga setelah mereka mengetahui bahwa anaknya mengalami retardasi mental.
Menurut Yusuf (1986:61), setelah diagnosis retardasi mental ditegakkan dengan pasti oleh seorang ahli, maka pada keluarga akan timbul suatu periode krisis. Periode krisis ini ada 3 tahapan. Pertama, tahap penolakan/penyangkalan. Orang tua tidak percaya atas apa yang disampaikan kepadanya tentang anaknya. Mereka bahkan akan menyangkalnya. Mereka berusaha mencari “akhli” yang lain akan menyatakan bahwa anaknya normal. Untuk itu orang tua akan pergi dari satu ahli ke ahli lain secara berganti-ganti, sampai akhirnya menyerah baik dengan terpaksa atau dengan sadar. Kedua, tahap duka cita dan kesedihan yang mendalam. Keadaan ini disebabkan oleh karena keadaan (a) anak yang tidak diharapkan, (b) merasa seolah-olah kehilangan sesuatu. Ada juga orang tua yang langsung masuk ke tahap duka cita ini tanpa melewati tahap penolakan.Keiga, tahap penerrimaan. Orang tua secara kenyataan menerima keadaan ini, baik secara sadar maupun secara terpaksa. Masing-masing tahapan memerlukan waktu yang berbeda untuk masing-masing keluarga Demikian pula berat ringannya periode krisis tersebut. Yusuf (1986:63) juga mengatakan bahwa pada periode krisis ini jelas seluruh keluarga, terutama orang tua dilanda stres yang cukup berat. Bila hal ini tidak dapat teratasi dengan baik, maka akan menimbulkan efek ketidaktentraman dalam keluarga. Hal ini jelas akan mengganggu/menghambat perkembangan anak dengan retardasi mental itu sendiri. Pada diri orang tua terdapat pertentangan/konflik antara: (a) keinginan yang kuat untuk mempunyai anak yang sehat, (b) secara simultan (bersama-sama) terjadi ketakutan dan kecemasan apabila apa yang dilakukan itu akan mengakibatkan suatu kesalahan bagi anak itu sendiri.


Antropologi dan Perannya
Dalam konteks ‘social and cultural caring’, seorang ahli antropologi mengusahakan bagaimana orang-orang penderita retardasi mental ini dapat diterima di lingkungan sosialnya. Antropolog dapat memulai kerja mereka dengan melihat bagaimana masyarakat menilai mereka sehubungan dengan ketidakmampuan mereka untuk berfungsi secara optimal. Bagaimana masyarakat melihat si penderita retardasi mental dan keluarganya. Bagaimana anggota keluarga tersebut memperlakukan si penderita retardasi mental; apakah dirawat, diperhatikan (diobati dan ditanggulangi) atau diabaikan dan dimanipulasi untuk mendapatkan bantuan (dana atau mengemis, dan lain-lain). ‘Caring’ atau perhatian secara sosial dan budaya dapat diupayakan dengan beberapa hal, terutama dengan pendekatan terhadap keluarga inti (‘nuclear family’ dan anggota masyarakat. Ahli antropologi dapat membantu proses diterimanya penderita retardasi mental ini sebagai bagian dari kehidupan masyarakat dengan cara mencoba mengajak masyarakat untuk turut serta dalam proses rehabilitasi para penderita retardasi mental.
Secara gotong royong, pihak keluarga dapat turut serta mengusahakan atau memebrdayakan mereka dalam kegiatan-kegiatan produktif tertentu. Kegiatan produktif ini disesuaikan dengan tingkat kemampuan si penderita retardasi mental. Dalam pelibatan si penderita dalam kegiatan produktif ini, pihak keluarga atau anggota masyarakat perlu memperhatikan beberapa hal yang sangat penting, yaitu. Pertama, bagaimana si penderita dapat bekerja dengan kapasitas maksimal. Misalnya, apakah si penderita mampu membuat sapu lidi, sapu ijuk, keset/ alas kaki, atau beberapa jenis kerajinan tangan lainnya yang tidak terlalu rumit proses pembuatannya. Kedua, pihak keluarga atau masyarakat harus membuat si penderita mampu menyesuaikan diri dengan anggota masyarakat lainnya secara memuaskan. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar si penderita mampu berinteraksi dengan lingkungannya secara baik. Dengan interaksi yang baik, si penderta akan mampu merasa nyaman dan dapat dibantu untuk mengembangkan kemampuannya sampai pada tingkat yang maksimal.
Penderita retardasi mental harus diberi dukungan sosial dari lingkungan sosialnya agar mereka mampu mencapai kemampuan fungsional setinggi mungkin. Dalam hal ini, si penderita harus diberi kesempatan, baik itu secara edukasional maupun secara vokasional. Dukungan secara edukasional dapat dilakukan dengan cara mendidik kembali si penderita mengenai cara-cara agar dia dapat hidup senormal mungkin dalam proses rehabilitasi untuk menjadi ‘orang baru’. Secara vokasional, dukungan sosial dapat dilakukan engan melakukan ‘training’ atau melatih penderita supaya mampu untuk menolong diri sendiri. Dalam hal ini si penderita dilatih dengan tujuan agar dia dapat mencapai kemampuan fungsional setinggi mungkin (dalam mencari nafkah misalnya). Antropolog dapat membantu pihak keluarga ataupun masyarakat lainnya untuk memberdayakan kembali para penderita retardasi mental ini. Antropolog dapat memberi bantuan konkrit dalam upaya mengkondisikan lingkungan yang memberi ‘caring’ (perhatian) pada penderita baik secara sosial maupun kultural. Hal ini perlu diupayakan mengingat adanya tanggapan-tanggapan masyarakat yang menilai bahwa penderita retardasi mental dianggap sebagai kutukan. Penialaian atau anggapan seperti ini adalah pengaruh dari budaya kelompok masyarakat yang bersangkutan. Terdapat juga beberapa kelompok masyarakat lain yang menganggap bahwa anak dengan retardasi mental adalah sebagai karunia atau keberuntungan.
Beberapa kelompok masyarakat lainnya menganggap anak dengan retardasi mental adalah penyakit turunan. Tanggapan dan penilaian seperti di atas akan menentukan sikap orang tua, keluarga dan anggota masyarakat lainnya terhadap si penderita retardasi mental. Tanggapan negatif yang menganggap penderita retardasi mental adalah kutukan akan cenderung mengabaikan perhatian terhadap penderita. Pengabaian perhatian ini akan menyebabkan si penderita retardasi mental akan disisihkan dari lingkungan sosial mereka. Pihak orang tua dan keluarga akan merasa malu terhadap keberadaan si anak atau anggota keluarga mereka yang mendertita retardasi mental. Mereka akan berusaha menutup-nutupi keberadaan si penderita karena merasa takut akan dikucilkan oleh anggota masyarakat lainnya akibat adanya kutukan tersebut pada salah satu anggota keluarga mereka.
Dalam hal pengabaian perhatian terhadap penderita retardasi mental ini, antropolog dapat membantu untuk mengupayakan timbulnya suatu perubahan sikap dan pandangan baru. Pandangan dan sikap baru didiharapkan timbul dari phak orang tua, keluarga/kerabat dan anggota masyarakat lainnya. Pandangan dan sikap baru yang diharapkan adalah suatu kesadaran baru bahwa penderita retardasi mental ini bukanlah suatu kutukan, bukan merupakan aib yang memalukan dan tidak harus ditutup-tutupi dan bukanlah semata-mata merupakan penyakit turunan. Antropolog berusaha menanamkan suatu nilai baru bahwa penderita retardasi mental juga merupakan individu yang perlu mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang khusus.
Antropolog dapat memberikan informasi mengenai nilai atau sikap dan pandangan baru tersebut. Penanganan awal dapat dimulai dari orang tua dan keluarga dekat dengan cara penataan cara hidup. Beberapa langkah awal tersebut antara lain adalah dengan menanamkan nilai-nilai budaya positif, kepercayaan moral sebagai landasan prilaku perhatian pada anak cacat mental, seperti; kewajiban memelihara, mendidik, tanggung jawab, dan menekankan nilai-nilai agama bahwa semua manusia adalah ciptaan Tuhan dengan kelebihan dan kekurangan masingmasing.
Selain upaya-upaya yang dilakukan di atas, perhatian yang juga sangat perlu adalah upaya membantu si penderita agar para anak cacat mental ini mampu mandiri bagi keperluan pribadi mereka yang mendasar. Keperluan pribadi tersebut meliputi; membimbing untuk mampu makan sendiri, mengenakan pakaian sendiri dan akhirnya mampu menyesuaikan diri dalam lingkungan sosialnya. Dalam hal ini pendekatan yang dilakukan terarah kepada keluarga dan masyarakat, yaitu dalam hal memberi dukungan sosial. Dengan dukungan sosial ini, keluarga dan masyarakat secara bersama-sama membangun kembali keberdayaan penderita melalui penghargaan dan penilaian positip yang diberikan kepada si penderita retardasi mental dan juga pihak keluarga si penderita. Pemberdayaan seperti ini merupakan suatu proses sosialisasi yang sangat baik bagi penderita retardasi mental dalam memberikan ruang bagi si penderita untuk mengembangkan kemampuannya. Dengan memiliki kemampuan untuk mengembangkan diri, maka si penderita akan merasa berfungsi dan dihargai. Dengan demikian akan sangat membantu si penderita dalam proses interaksi dan adaptasinya dengan lingkungan sosial di mana mereka tinggal.




Lencir Kuning Posted By Lencir Kuning

All about environmental sanitation and public health article up to date contact me

Thank You


0 Responses So Far:

Post a Comment