Beberapa hal yang mendasari perlunya pembaruan kebijakan pembangunan penyehatan lingkungan tidak terlepas dari permasalahan yang dihadapi dan peluang yang ada dalam sektor air minum dan penyehatan lingkungan serta pengalaman (lesson learned) pelaksanaan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan.
Dari perkembangan pelaksanaan penyehatan lingkungan selama ini, terdapat beberapa kemajuan yang diperoleh, misalnya peningkatan cakupan penyehatan lingkungan dan secara tidak langsung meningkatkan derajat kesehatan. Namun, masih terdapat beberapa permasalahan yang dihadapi pada penyediaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan yaitu :
1. Kurang efektif dan efisiennya investasi yang telah dilakukan pada pembangunan prasarana dan sarana penyehatan lingkungan.
Dari segi kuantitas pelayanan, lingkup pembangunan penyehatan lingkungan masih terbatas. Selain itu cakupan pelayanan juga masih terbatas sehingga tidak mampu mengimbangi laju kebutuhan akibat pertambahan jumlah penduduk. Hingga saat ini diperkirakan masih terdapat 100 juta penduduk Indonesia yang belum memiliki kemudahan terhadap pelayanan penyehatan lingkungan yang memadai. Sebagian besar masyarakat yang tidak memiliki kemudahan tersebut adalah masyarakat miskin dan masyarakat yang bertempat di kawasan perdesaan. Kecenderungan ini terus meningkat setiap tahunnya.
Pengalaman masa lalu juga menunjukkan adanya prasarana dan sarana penyehatan lingkungan terbangun yang tidak dapat berfungsi secara optimal. Salah satu penyebabnya adalah tidak dilibatkannya masyarakat sasaran, baik pada perencanaan, konstruksi ataupun pada kegiatan operasi dan pemeliharaan. Selain itu, pilihan teknologi yang terbatas mempersulit masyarakat untuk dapat menentukan prasarana dan sarana yang hendak dibangun dan digunakan di daerahnya yang sesuai dengan kebutuhan, budaya (kultur) setempat, kemampuan masyarakat untuk mengelola prasarana dan kondisi fisik daerah tersebut.
Kurangnya keterlibatan masyarakat juga menjadikan pelayanan prasarana dan sarana penyehatan lingkungan yang terbangun menjadi tidak berkelanjutan, tidak dapat berfungsi dengan baik, dan tidak adanya perhatian masyarakat untuk menjaga keberlanjutan pelayanan prasarana dan sarana. Hal ini mengakibatkan prasarana dan sarana tersebut tidak memberikan manfaat bagi masyarakat pengguna secara berkelanjutan.
Investasi prasarana dan sarana penyehatan lingkungan pada saat itu yang berorientasi pada supply driven juga membawa dampak kepada rendahnya efektivitas prasarana dan sarana yang dibangun. Tidak sedikit investasi prasarana dan sarana yang tidak dimanfaatkan oleh masyarakat karena mereka tidak membutuhkan, sebaliknya banyak masyarakat yang membutuhkan pelayanan prasarana dan sarana namun tidak mendapatkan pelayanan.
2. Keterbatasan kemampuan pemerintah
Pola pembiayaan sampai saat ini masih bertumpu pada anggaran pemerintah, khususnya anggaran pemerintah pusat. Kemampuan pemerintah pusat di masa yang akan datang untuk menyediakan anggaran semakin berkurang. Untuk itu, diperlukan inovasi pola pembiayaan untuk menggali berbagai sumber pembiayaan yang belum dimanfaatkan (hidden potential), khususnya sumber pembiayaan yang berasal dari pemerintah daerah dan masyarakat pengguna. Untuk mengoptimalkan sumber pembiayaan tersebut diperlukan sistem berkelanjutan (sustainable system) sehingga potensi tersebut dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan.
3. Belum tersedianya kebijakan dan peraturan perundangan yang mengatur pemanfaatan potensi tersembunyi (hidden potential) yang ada dalam masyarakat.
Kapasitas masyarakat dalam menyediakan prasarana dan sarana penyehatan lingkungan saat ini belum dapat dioptimalkan karena belum adanya kebijakan dan peraturan perundangan untuk menggerakkan potensi tersebut. Sebagai contoh belum adanya kebijakan dan peraturan perundangan mengenai pemindahan aset (transfer asset) dari pemerintah kepada masyarakat.
4. Penyehatan lingkungan belum menjadi perhatian dan prioritas.
Rendahnya kepedulian masyarakat dan pemerintah terhadap peranan penyehatan lingkungan dalam mendukung kualitas lingkungan menyebabkan masih rendahnya cakupan pelayanan penyehatan lingkungan. Kondisi ini antara lain tercermin pada pelayanan air limbah terpusat di beberapa kota besar yang masih menghadapi kendala dalam pengelolaannya. Hal ini terkait dengan rendahnya kesediaan membayar (willingness to pay) dari masyarakat terhadap pelayanan air limbah terpusat dan masih rendahnya kualitas pengelolaan prasarana dan sarana air limbah terpusat. Kondisi yang sama juga terjadi pada jamban (sanitasi dasar), khususnya bagi masyarakat perdesaan. Kebutuhan masyarakat terhadap jamban masih rendah.
Hal ini disebabkan ketidaktahuan mereka terhadap pentingnya hidup bersih dan sehat, yang tercermin dari perilaku masyarakat yang hingga sekarang masih banyak yang buang air besar di sungai, kebun, sawah bahkan dikantong plastik yang kemudian dibuang di sembarang tempat. Permasalahan juga dihadapi dalam penanganan persampahan dan drainase. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi serta meningkatnya kawasan terbangun membawa dampak kepada meningkatnya jumlah timbunan sampah, semakin terbatasnya lahan yang dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan sampah serta belum optimalnya pendekatan 3 R (reduce, reuse and recycle)1 dalam pengelolaan sampah. Dampak berikutnya adalah semakin luasnya daerah genangan, berkurangnya lahan resapan dan pemanfaatan saluran drainase sebagai tempat pembuangan sampah.
Beberapa pengalaman yang dapat ditarik dari pelaksanaan program dan proyek penyehatan lingkungan yang dibiayai dengan dana luar negeri dan APBN, adalah sebagai berikut :
- Pembangunan pelayanan penyehatan lingkungan yang melibatkan masyarakat, memiliki efektivitas dan keberlanjutan pelayanan yang lebih baik.
- Pengelolaan prasarana dan sarana yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat pengguna dalam pengambilan keputusan dan kelembagaan, menghasilkan partisipasi masyarakat yang lebih besar pada pelaksanaan operasi dan pemeliharaan.
- Keterlibatan aktif perempuan, masyarakat yang kurang beruntung (miskin, cacat dan sebagainya) secara seimbang dalam pengambilan keputusan untuk kegiatan operasional dan pemeliharaan, menghasilkan efektivitas penggunaan dan keberlanjutan pelayanan yang lebih tinggi.
- Semakin mudah penggunaan prasarana dan sarana penyehatan lingkungan (tepat guna), maka semakin tinggi efektivitas penggunaan dan keberlanjutan pelayanan prasarana dan sarana.
- Perlunya kampanye perubahan perilaku hidup bersih dan sehat dalam pelaksanaan program penyehatan lingkungan.
- Semakin banyak pilihan teknologi yang ditawarkan dan semakin besar kesempatan masyarakat untuk memilih sesuai dengan pengetahuan dan kemampuannya, maka semakin besar kemungkinan terpenuhinya kebutuhan masyarakat dan semakin tinggi efektivitas dan keberlanjutan pemanfaatan prasarana dan sarana.
- Efektivitas penggunaan dan keberlanjutan dapat tercapai apabila pilihan pelayanan dan konsekuensi biayanya ditentukan langsung oleh masyarakat di tingkat rumah tangga. Kontribusi pembangunan ditentukan berdasarkan jenis pelayanan dan pembentukan unit pengelolaan dilakukan secara demokratis.
- Pengguna prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan mempunyai kemampuan (ability) untuk membayar setiap jenis pelayanan penyehatan lingkungan sejauh hal tersebut sesuai dengan kebutuhan. Mereka sangat peduli akan kualitas dan bersedia membayar lebih asalkan pelayanan memenuhi kebutuhan.
- Tidak adanya kerangka kebijakan yang disepakati oleh semua pihak yang berkepentingan (stakeholders), seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, negara dan lembaga keuangan pemberi bantuan dan pinjaman, serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam menerapkan PTK.
- Adanya penolakan, baik langsung maupun tidak langsung, dari pemerintah di berbagai tingkatan maupun lintas sektor, negara dan lembaga keuangan pemberi bantuan dan pinjaman, maupun masyarakat sendiri dalam menerapkan PTK.
- Terbatasnya informasi, kemampuan teknis dan keuangan pada setiap stakeholder, khususnya pemerintah maupun LSM.
- Lambatnya proses birokrasi serta kakunya prosedur pembiayaan dan pengadaan tenaga pendukung kegiatan PTK.
- Membutuhkan waktu yang relatif lama dan dana fasilitasi yang cukup besar.
- Aspek Kebijakan: Melembagakan PTK dalam mekanisme pembangunan daerah dan pembangunan masyarakat, serta meningkatkan kemampuan pemerintah kabupaten dan kota dalam melaksanakan PTK.
- Aspek Pendanaan: Menyiapkan perangkat hukum yang mendorong partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pembangunan prasarana dan sarana penyehatan lingkungan, dan mengembangkan sistem pemberdayaan masyarakat untuk mengelola, mengontrol dan mengarahkan sumber-sumber keuangan yang mereka miliki sendiri.
Dalam konteks pembangunan penyehatan lingkungan, prinsip-prinsip Dublin Rio mengandung arti “jika ingin berhasil dalam pembangunan perlu mempertimbangkan berbagai aspek, seperti sosial, teknis, keuangan, kelembagaan, jender, dan lingkungan yang dikelola secara integratif; walaupun masing-masing aspek berbeda karakteristiknya, namun kesemuanya mempunyai tingkat kepentingan yang sama”.
Dalam konteks penyehatan lingkungan, keberlanjutan dapat diartikan sebagai upaya dan kegiatan penyediaan penyehatan lingkungan yang dilakukan untuk dapat memberikan manfaat dan pelayanan kepada masyarakat pengguna secara terus menerus. Keberlanjutan pelayanan penyehatan lingkungan harus dilihat sebagai suatu sistem yang terdiri dari pembangunan prasarana dan sarana, operasi, pemeliharaan, pengelolaan, dan pengembangan pelayanan penyehatan lingkungan kepada masyarakat.
Mengingat pemberdayaan masyarakat merupakan alat untuk mencapai tujuan pembangunan penyehatan lingkungan maka perubahan perilaku masyarakat menuju budaya hidup yang lebih sehat serta mendukung keberlanjutan pelayanan penyehatan lingkungan merupakan tolok ukur keberhasilan pembangunan penyehatan lingkungan. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan untuk menuju pembangunan penyehatan lingkungan yang berkelanjutan adalah :
- keberlanjutan aspek pembiayaan
- keberlanjutan aspek teknik
- keberlanjutan aspek lingkungan hidup
- keberlanjutan aspek kelembagaan
- keberlanjutan aspek sosial
Tujuan dari program lingkungan sehat adalah: Mewujudkan mutu lingkungan yang lebih sehat melalui pengembangan sistem kewilayahan untuk menggerakkan pembangunan lintas sektor berwawasan kesehatan. Kegiatan pokoknya adalah :
- Penyediaan sarana air bersih dan sanitasi dasar.
- Pengawasan kualitas lingkungan.
- Pengendalian dampak risiko pencemaran lingkungan.
- Pengembangan wilayah sehat.
- Lingkungan sehat dicapai melalui pengembangan kesehatan wilayah dan ekosistem.
- Prioritas kesling diutamakan pada high risk group anak-anak, penduduk miskin, daerah terpencil, perbatasan dan daerah pembangunan.
- Mengutamakan preventif dan promotif.
- Peran akif masyarakat sejak dari pengenalan masalah, penyusunan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya.
- Pengendalian faktor risiko memerlukan kerjasama lintas ekstor, kemitraan dengan swasta dan NGO.
- Pengelolaan kesling berdasarkan prinsip good governance, effective, effisien, partisipatif, law enforcement, transparan dan akuntabel.
- Sistem informasi kesling dan surveillance dilaksanakan secara terpadu dan menyeluruh. Mengembangkan risk assement dan dampak kesehatan, studi epidemiologi sebagai dasar manajemen dan komunikasi risiko.
0 Responses So Far:
Post a Comment