Pages - Menu

Friday, December 21, 2012

Psikologi Lingkungan

Hubungan Perilaku, Fisik, dan Lingkungan 
 
Sejak jaman Vitruvius tujuan arsitektur telah dinyatakan dalam pengertian kemantapan, kemanfaatan dan keindahan. Bahasa mutakhirnya adalah teknologi, fungsi dan estetika. Arsitektur merupakan disiplin yang sintetis dan senantiasa mencakup ketiga hal diatas dalam setiap rancangannya. Dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan yang makin kompleks maka perilaku manusia ( human behaviour ) semakin diperhitungkan dalam proses perancangan yang sering disebut sebagai pengkajian lingkungan perilaku dalam arsitektur. Bahasan ini mencakup berbagai hal tentang Lingkungan , Proses Lingkungan, Perilaku, Setting Fisik, Ilmu Psikologi Lingkungan (dalam pencarian dan pencapaiannya). Landasan keilmiahan penelitiannya didasarkan pada fenomena, psikologi dan sosial (dengan sedikit keraguan tentang keabsahan metode penelitian kualitatif yang dilakukannya). Namun hal ini dapat ditanggulangi dengan perkembangan teknik penelitian ‘Naturalistic Inquiry’1 untuk ilmu non-eksak yang tak kurang derajat ilmiahnya dibanding metoda penelitian eksakta/engineering. Beberapa bagian menyoroti secara khusus tentang beberapa asumsi dasar berkait dengan hubungan perilaku manusia dengan setting fisiknya secara timbal balik dan perilaku yang dapat dicermati sebagai acuan perancangan setting fisik baik secara konsep maupun fisik keruangan.

Ilmu Psikologi Lingkungan, (pencarian dan pencapaian)

Psikologi lingkungan adalah lahan baru dalam rangkaian pengetahuan yang lahir karena kebutuhan sosial. Hal itu sekarang merupakan bagian dari struktur teorikal yang setara dalam kaidah teorikal yang lain. Kajian psikologi sosial bisa dinyatakan dengan menunjuk pada adanya kejadian atau studi fenomena ( fenomenologi ) seperti yang dikembangkan oleh pemikir Jerman.

Fenomenologi menekankan perlunya pemahaman yang simpatik didasarkan atas penjelasan yang holistik. Pemahaman ini tidak menyerankan pemahaman suatu fenomena secara parsial, dengan memecah belah kompleksitas fenomena menjadi hubungan antara beberapa variabel yang sedehana melainkan secara serentak dan menyeluruh. (Klasen,Winand; Architecture and Philosophy. University of San Carlos Cebu City,Phillipines.1980)

Perhatian utama tentang Human Behaviour adalah pada hubungan antar manusia terhadap lingkungan fisik yang dibuat oleh manusia sendiri. Dalam abad terakhir ini manusia telah banyak merubah wajah bumi dan alam bebas dimana dia berada. Namun dalam dinamika perubahan tersebut (yaitu kemenangan manusia menaklukkan lingkungan fisik menggunakan teknologi modern) manusia lantas melupakan perusakan terhadap dirinya sendiri misalnya berupa populasi yang terlalu padat, polusi air dan udara, urban deterioration, pengurasan sumber daya alam, dan masalah lingkungan lain yang mendasar. Dorongan yang timbul akibat keinginan untuk memecahkan masalah (lingkungan) tersebut kemudian menumbuhkan apa yang disebut ilmu psikologi lingkungan.

Sebagai dasar pemikiran adalah ilmu psikologi untuk menyatakan dan mengkonsepkan lingkungan manusia. Apa yang didapat kemudian bahwa psikologi modern hanya menawarkan sedikit petunjuk. Namun setidaknya hal tersebut memberikan sumbangan yang cukup berarti yaitu adanya kemantapan hubungan antara perilaku individu dan lingkungan alam bebas.

Posisi obyektifitas ilmu psikologi lingkungan adalah lebih empirikal dibanding teorikal. Karenanya dapat dikatakan bahwa ilmu ini tetap berada pada periphery masalah tentang bagaimana mendefinisikan lingkungan ( meskipun definisi itupun tidak secara langsung dapat menjadi pegangan.) Terdapat dua pendekatan yaitu satu yang menyatakan bahwa lingkungan dalam kemurnian fisik ( kaidah obyektifnya), dan pendekatan lainnya – dalam orientasi phenomenology – yang secara esensial menyatakan kesamaan dari lingkungan fisik/signifikansinya. Masing-masing mengabaikan tujuan dasar untuk mendefinisikan arti lingkungan dalam kerangka pendekatan tersebut. Tapi jika kedua pendekatan tersebut dapat menyatakan definisi, maka kesulitan mendasar akan muncul karena masing-masing pendekatan melihat suatu tingkatan parameter yang signifikan yang dinyatakan oleh satu dan lainnya. Pendekatan obyektif untuk lingkungan merupakan akar dari percobaan psikofisik dan Watsonian Behaviourism, yang membagi lingkungan fisik menjadi dorongan discrete quantifiable yang merupakan fungsi hubungan yang khas terhadap pengalaman dan perilaku. Pendekatan ini secara esensial digunakan untuk memantapkan dimensi dan kebebasan psikologi manusia seperti melihat/mengamati, berpikir, belajar, dan merasakan. Hal itu banyak mengajarkan kita tentang beberapa hal yang mendasar tentang fungsi tersebut namun tidak berarti terlalu banyak untuk dimengerti sebagai hasil integrasi manusia dalam bertingkah. Perilaku sendiri punya maksud tertentu dalam suatu setting sosial yang kompleks.

Pertanyaan untuk mempolakan dimensi dasar dalam lingkungan fisik, seperti cahaya dan suara, sebagai sumber dan perilaku belum terlalu serius diperhitungkan. Dan yang lebih penting adalah signifikansi makna, pengertian, dan proses kognitif sebagai level lain yang berpengaruh terhadap perilaku (sebagai yang sangat penting dalam pendekatan phenomenological) sampai kini belum terdefinisikan. Pendekatan phenomenological untuk lingkungan adalah merupakan pendekatan yang tidak hanya melihat hal itu berlangsung begitu saja namun lebih kepada ‘bagaimana mengalaminya’ seperti yang pertama kali dikatakan oleh Kofka dalam “Lingkungan perilaku” (1935) dan terakhir dikembangkan oleh Lewin’s dalam teori tentang ruang hidup (1936).

Perilaku tumbuh tidak dari obyektif karena dorongan dunia “sana” namun dari kegiatan dunia yang bertransformasi dalam “inner world” atau lingkungan fisik oleh kepaduan pengetahuan organisme. Secara psikologikal dan sosial hal ini berkait erat dan merupakan sesuatu yang penting dalam pembentukan dan pengalaman suasana ‘space’ yang terjadi dalam arsitektur ( Crowe ,Norman ; Nature and The Idea of Man- Made World .The MIT Press. Cambridge.England 1995 ) Beberapa asumsi menjelaskan beberapa pendekatan yang membahas kedudukan pengetahuan pisikologi lingkungan dalam hubungannya dengan ruang. Teori lainnya banyak mendukung formula ini adalah Murray 1938, Murphy 1947, Barker 1963, Kretch &Crutch 1948 dan lainnya.

Suatu pengertian lingkungan psikologis harus berkembang dengan sendirinya paling tidak studi tentang fenomena lingkungan yang terus berlangsung, berproses dengan cara pengamatan, pemikiran dan kreasi manusia . Dan lebih teliti lagi berupa simulasi yang dijalankan dalam suatu lingkungan fisik yang mampu meliput

keseluruhan proses tersebut. Sebenarnya, tujuan penting dalam kegiatan untuk mengkonsepkan lingkungan manusia haruslah memasukkan hubungan antara dunia fisik personal dan dunia yang dibentuknya yaitu yang bermula dari dirinya serta hubungan antara perilaku dan pengalaman. Berbicara untuk mengolah perilaku manusia dengan merubah lingkungan fisik tidak hanya berasal dari asumsi bahwa ada hubungan antar dua keberadaan namun lebih kepada bermulanya suatu hubungan antara kesetabilan dan keteraturan tanggapan manusia terhadap lingkungan fisiknya.

Fokus utama psikologi lingkungan adalah ‘hubungan manusia dengan lingkungannya’ namun ini terkadang malah bisa menjadi dikotomi (punya arti mendua) antara personal di satu sisi dan lingkungan disisi lainnya. Secara kebedaan/dikotomi ini bisa diabaikan karena hal itu hanya merupakan sebagian dari keseluruhan hubungan lingkungan dengan manusia sebagai suatu komponen. Ini berarti juga manusia tidak bisa eksis/ada kecuali punya hubungan dengan komponen lainnya yang membentuk situasi lingkungan.

Karakteristik Pendekatan Psikologi Lingkungan

Pendekatan psikologi lingkungan sebagaimana yang disampaikan oleh Holahan (1982) mempunyai karakteristik antara lain :

1. Adaptational Focus, Fokus penekanan pendekatan ini pada proses adaptasi manusia terhadap kebutuhan yang demikian kompleks terhadap suatu lingkungan fisik. Tiga aspek penting dalam adaptational Focus ini adalah :

  • Bahwa adaptational focus adalah proses psikologi yang yanag menjadi perantara dari pengaruh lingkungan / setting fisik terhadap kegiatan manusia
  • Bahwa adaptational focus merupakan pandangan yang holistik terhadap lingkungan fisik dalam hubungannya dengan perilaku, lingkungan, pengalaman dan kegiatan manusia. Lingkungan fisik sebagai suatu setting bagi perilaku manusia , bukan hanya sebagai stimula tunggal.
  • Bahwa adaptational focus melibatkan peranan aktif manusia dengan lingkungannya. Manusia aktif mencari cara positif dan adaptif untuk mengatasi tantangan lingkungannya (adaptational model)

2. Pendekatan Psikologi Lingkungan ini adalah lebih berupa problem soving dalam pembentukan paradigma baru yang berkaitan dengan interdisiplin keilmuan.  Dalam hal ini ilmuwan psikologi lingkungan harus terus melanjutkan usahanya untuk melakukan uji coba selanjutnya dan lebih mensistematiskan asumsi “terjadi dengan sendirinya” terutama dengan perhatian terhadap wilayah permasalahan yang relatif tidak terjangkau oleh riset yang sistematis. Salah satu yang bisa diusulkan adalah teknik observasi partisipatif.

Observasi Partisipatif

Observasi partisipatif merupakan teknik yang sering digunakan dalam berbagai kajian ilmu termasuk psikologi lingkungan. Perkembangan bidang kajian arsitektur lingkungan dan perilaku juga banyak dilakukan dengan menggunakan teknik ini dengan beberapa modifikasi. Prinsip dasar yang digunakan adalah meniadakan ‘dinding batas’ serta menghilangkan jarak anata obyek yang diamati dengan subyek (pengamat). Artinya pengamat bisa berbaur dengan lebih intens terhadap obyek yang diamatinya. Observasi partisipatif didefinikan sebagai suatu proses dimana observer berada dalam situasi langsung dengan yang diamatinya dan dengan peran serta dalam kegiatan sehari-hari observer mengumpulkan data. Teknik ini sudah lama dilakukan oleh pengamat antropologi dalam kegiatan ilmiahnya. Dengan demikian keilmiah-an pengamatan psikologi sosial ini dapat mengeliminir pendapat “ terjadi dengan sendirinya”.

Pengaruh Lingkungan Fisik pada Perilaku

Bagaimana lingkungan fisik berpengaruh terhadap lingkungan secara timbal balik dijelaskan oleh Gibson (1966) sebagai berikut :


Perilaku manusia dalam hubungannya terhadap suatu setting fisik berlangsung dan konsisten sesuai waktu dan situasi. Karenanya pola perilaku yang khas untuk setting fisik tersebut dapat diidentifikasikan. Tentu saja apa yang dibahas tidak lantas menjadi demikian sederhana bahwa manusia semuanya berperilaku ajeg dalam suatu tempat dan waktu tertentu. Tapi umumnya frekuensi kegiatan yang terjadi pada suatu setting baik tunggal ataupun berkelompok dengan setting lain menunjukkan suatu yang konstan/tetap sepanjang waktu. Ini menunjukkan bahwa tidak hanya karakter dan pola tetap perilaku yang dapat dideteksi dalam hubungannya dengan suatu setting tapi juga kemungkinan yang muncul seperti pola tanggapan perilaku yang kadang dapat berubah menjadi sebaliknya.

Apa yang ditunjukkan oleh peta perilaku tidak hanya tentang bagaimana kegiatan makan, tidur, berinteraksi, ngobrol dan lainnya dalam situasi, tempat dan waktu yang beragam tapi juga menunjukkan bahwa pola penggunaan ruang tidak diperdulikan oleh pasien yang terlibat dengan kata lain bahwa bila kondisi lainnya

sama, maka pola penggunaan (fungsi) setting fisik tertentu tidak diperdulikan oleh pemakai yang terlibat. Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa data yang menjadi acuan untuk pembentukan pendapat ini dinyatakan hanya sebagai “kebenaran yang terjadi dengan sendirinya” dan itu bukan berupa asumsi kestabilan perilaku manusia pada umumnya tapi itu untuk menunjukkan kesamaan dalam hubungan dengan sebagian lingkungan fisik sebagai aspek nyata eksistensi manusia.

Aspek lain yang sebanding/setara adalah pendapat bahwa kesamaan dan keteraturan pikiran dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan ruang fisik yang terjadi dengan sendirinya adalah merupakan implikasi bahwa sifat alamiah dari kesamaan juga terjadi dengan sendirinya. Dari sumber yang didapat pada  perilaku tidak dimaksudkan bahwa asumsi itu hanya sebagian benar, tapi yang lebih penting adalah keyakinan bahwa hal tersebut menyederhanakan pengertian hubungan antara perilaku manusia dan setting fisiknya. Kita dapat menyaksikan bahwa kamar tidur itu secara tetap digunakan untuk bersosial dan makan selain hanya untuk tidur. Ruang makan tidak hanya untuk makan tapi juga untuk membentuk pola berinteraksi sosial.

Proses Psikologi Manusia dalam Beradaptasi

Dari riset menunjukkan bagaimana dan untuk apa tujuan individu tersebut menggunakan ruang. Dan ini tidak merefleksikan secara langsung mengenai apa fungsi ruang itu. Hal itu lebih menunjukkan bahwa fungsi ruang / tergantung dari desain fisik dan label penamaannya saja. Ruang adalah sistem lingkungan binaan yang paling kecil. Dalam banyak kasus fungsi ruang ditentukan oleh fungsi dari sistem yang lebih besar. Fungsi ini menjadi jelas karena sebagian besar fungsi ini sesuai dengan kegiatan yang teratur berlanjut di ruangan tersebut ( misalnya ruang seminar, kelas dsb). Pada kasus lain fungsi ruang menjadi tidak jelas karena beragamnya variasi perilaku yang berlangsung di dalamnya (misal ruang keluarga dalam suatu rumah). Berarti ada dua jenis ruang yang berpengaruh terhadap perilaku . Pertama, ruang yang dirancanag untuk suatu perilaku khusus kedua ruang yang diperuntukkan bagi kegiatan yang lebih fleksible.Kedua, Kesamaan dan keteraturan bukan hanya salah satu karakteristik dari prilaku manusia dalam hubungannya dengan setting fisik.. Jika seseorang meluangkan waktu dari suatu ruangan kemudian berpindah ke ruangan lain dalam suatu waktu tertentu itu adalah karena adanya perbedaan kegiatan dan keteraturan kegiatan manusia. Peta perilaku kegiatan harian yang diamati belum juga dapat menjelaskan perbedaan apa yang terjadi pada masing-masing dan antar ruang. Ruang santai digunakan juga untuk makan , main game, ngobrol, membaca, interaksi sosial dan lain kegiatan. Dan untuk setiap perilaku selalu terjadi keajegan. Jika area tersebut diamati dalam waktu yang pendek , katakanlah lima atau sepuluh menit maka perilaku kelihatannya tidak banyak berubah. Ketika durasi suatu kegiatan dimasukkan dalam peta perilaku , dapat dikatakan bahwa secara umum kegiatan berlangsung tidak terlalu lama. Bahkan ketika kegiatannya terprogram, bagaimanapun perubahan akan terjadi juga. Misalnya ada dua orang yang terlibat percakapan mungkin lalu didatangi oleh orang ketiga , atau mungkin mencari sisi lain dari ruangan itu atau sejenak diam setelah melakukan percakapan itu. Kegiatan membaca di ruang santai mungkin berpindah ke ruang tidur untuk menghindari kebisingan.

Kaleidoskop perilaku manusia tentu saja tidak terbatas pada setting tertentu. Itu dapat ditemukan pada setiap setting fisik yang ada interaksi sosialnya. Perilaku manusia dalam hubungannya dengan setting fisik berbeda antar kejadian dan beragam. Perbedaan dan kelangsungan perilakunya tidak terbatas . Meskipun pelaku kegiatan bebas memilih setting fisik namun mereka tetap merasakan adanya batasan / limit. Desain ruangan punya batasan pilihan untuk perilaku yang terjadi di dalamnya. Sebagai contoh bila ada ketentuan untuk tidak boleh tidur di sembarang tempat dan harus di tempat tidur. Lantas seseorang malah memutuskan untuk tidur dilantai saja, berarti ia melawan peraturan / batasan yang mengharuskannya untuk tidur di tempat tidur. Bagaimanapun batasan ini ada meski punya potensi untuk dilanggar.

Kemampuan beradapatasi dan Fleksibilitas

An adaptable layout is one that affords different times standing patterns of behaviour at different times without requiring physical changes. Flexible layout are those in which the structure is easy to change to accommodate different needs. This is more than is generally implied by semifixed feature space… ( Jon Lang (1997) ; Creating Architectural Theory , The role of the behavioral sciences in environmental design )

Dari ungkapan tentang adaptasi dan fleksibilitas diatas dapat digunakan untuk lebih memperjelas kemungkinan perancangan setting dengan perhatian pada sifat adaptif manusia atau ruang yang diolah untuk mencapai tatanan yang sesuai dengan perilaku manusia ( supaya lebih gampang diadaptasi ) Mungkin karena terlalu bernilainya asumsi itu maka sedikit terlupa untuk memberi peringatan terhadap riset lingkungan yang gagal dalam mengenali kerumitan studi fenomena. Kebanyakan asumsi itu menunjukkan kebutuhan riset dengan maksud untuk mengesampingkan paradigma ‘sebab – akibat’ yang relatif sederhana yang menjadi tipe riset ilmiah lingkungan . Holahan (1982) menyatakan bahwa terjadinya proses psikologi manusia yang berhubungan dalan rangka mengatasi atau beradaptasi dengan lingkungan fisik dipengaruhi tiga hal yaitu :

  1. Environmental Perception, yaitu proses memahami linkungan fisik melalui input indrawi dari stimuli yang baru saja hadir atau terjadi
  2. Envorinmental Cognition, yaitu proses menyimpan , mengorganisasikan, mengkonstruksi dan memanggil kembali imaji, ciri-ciri, atau kondisi lingkungan yang sudah ada / terjadi beberapa saat yang lalu.
  3. Environmental Attitudes, yaitu rasa suka atau tidak suka terhadap sifat atau ciri , kondisi lingkungan fisiknya.

Hubungan Perilaku dengan Setting Fisik


Setting fisik yang dinyatakan dan dibentuk dengan pembatas bukan merupakan sistem tertutup ; batas itu tidak tetap terhadap ruang dan waktu. Hal ini sangat jelas diungkapkan oleh Norman Crowe dalam kajian ‘Natural Source for the Geometry of Architecture’ bahwa batas ( yang menggunakan geometri ) adalah berasal dari proses penataan/olahan material dan hasilnya dipengaruhi oleh Human Perseption. Human perseption inilah yang merupakan sesuatu yang tidak bisa di batasi.( Norman Crowe (1995) ;Nature and The Idea of Man-Made World .The MIT Press. Cambridge.England )

Dalam suatu setting fisik, perilaku individu mempunyai karakter perubahan yang menerus / ajeg disamping berlaku umum dan stabil/tetap. Setting fisik adalah subyek yang bersistem terbuka untuk ruang diluar dan dibatasi waktu. Peralatan yang berada dalam suatu ruang semuanya berfungsi tidak hanya dilihat dalam fungsi dekorasinya tapi mempertimbangkan juga sejumlah orang yang akan menggunakannya. Suatu ruang dengan enam penghuni didalamnya secara fisik tidak dapat disamakan dengan ruang yang sama namun berisi dua orang didalamnya. Bahkan saat penghuninya tetap, struktur yang kelihatan akan berbeda dalam menanggapi perilakunya.

Jika setting fisik adalah suatu sistem terbuka yang ditandai dengan sesuatu yang simultan dalam perubahan dan tetap maka organisasinya menjadi dinamis dan saling ketergantungan antar ruang lain dalam suatu setting tertentu. Dengan menutup suatu ruang maka panas dalam ruang tersebut meningkat yang berakibat ruang lain mungkin menjadi sejuk, namun ini akan meningkatkan kepadatan pemakai yang berada disitu sampai menurunkan temperature pada tingkat yang tidak nyaman. Perabot yang usang dan ruang yang panas jarang digunakan oleh siapapun dan hanya ruang tertentu yang menjadi tujuan spesifik yang kerap penuh sesak meskipun kurang nyaman.

Perilaku dihubungkan dengan setting fisik adalah organisasi yang dinamis; suatu perubahan dalam setiap komponen setting mempunyai tingkat efek yang beraneka menyangkut komponen keseluruhan dalam setting tersebut. Karenanya merubah karakter pola perilaku harus secara menyeluruh.

Dengan berbagai batasan diadakan beberapa percobaan untuk mempelajari efek peningkatan kenikmatan fisik ruang dan kegiatan di dalamnya. Dengan hipotesis bahwa beberapa perubahan / perbaikan perabot akan meningkatkan kegiatan di ruangan tersebut dan akan menurunkan kegiatan di ruangan lainnya. Perubahan ruang yang dibuat membuat pemakai tetap tinggal dalam waktu lama berada di ruangan tersebut dan kurang dalam pemakaian ruangan lain. Ini menyatakan bahwa meski jelas berhubungan dengan asumsi tentang ke-stabil-an dan kebiasan perilaku dalam setting fisik, ada juga asumsi yang boleh disebut sebagai “ perilaku tetap ”. Ketika perubahan dalam setting fisik tidak menjamin/kondusif terhadap pola perilaku yang menjadi karakteristik terhadap suatu setting, maka akan muncul perilaku tanggapan yang bisa berupa menerima, menolak atau bahkan menghindar terhadap setting fisik tersebut. ( Materi kuliah ‘Pengantar Arsitektur dan Perilaku’ oleh Ir.Sri Amiranti.MS. 2000)

Dalam pengamatan terhadap perilaku ternyata dapat dibuat suatu pengaruh untuk mengembangkan kegiatan suatu ruang dengan merobah tatanan perabot. Perubahan lainnya tentu saja dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan menambah jumlah kapasitas dan dengan penjadwalan pemakaian ruang yang berbeda waktu bagi tiap kelompok dengan gerakan kegiatan yang terpola, perabotan, atau penggantian tata letak ruang. Perubahan dalam karakter pola perilaku setting fisik dapat disebabkan oleh perubahan fisik, sosial dan struktur administrative yang terdapat pada setting tersebut.

Asumsi ini merupakan hal yang sangat penting khususnya untuk merencanakan perubahan lingkungan yang condong kepada suatu pemaksaan. Keruwetan yang terjadi dalam suatu ruang dapat dikurangi dengan membangun ruang lainnya atau dengan mengurangi jumlah pemakai. Sejumlah batasan harus diberikan untuk menentukan metode apa yang layak pakai dan sesuai dengan masalahnya. Dalam kenyataannya adalah pemborosan jika mengatasi masalah di atas dengan perubahan fisik jika berbagai metoda lainnya dapat dijalankan. Arsitek biasanya sangat memperhatikan detail keaslian dan tidak begitu peduli dengan biaya membangun gedung. Tapi begitupun akan lebih fleksibel bila dapat ditangani dengan efektif dengan pengelolaan administrasi dan keuangan yang baik. Perubahan setting fisik sebaiknya mempertimbangkan pada kaidah teritory dan privacy seperti yang dinyatakan oleh Altman. Bahwa ‘kepadatan adalah ukuran matematik dari jumlah orang per unit ruang. Sedangkan kesesakan adalah merupakan pengertian psikologis atau perilaku lingkungan. Ini jelas berbeda dalam penanganannya. Kesesakan mungkin akibat kepadatan yang terlalu tinggi dan akhirnya kebutuhan privacy yang terganggu dan menimbulkan pengaruh perilaku yang bisa beraneka ragam. Kesesakan adalah merupakan akibat dari kegagalan mencapai tingkat privacy yang diinginkan.

Setting fisik bukan merupakan ruang yang sederhana sebagai ruangan fisik semata. Setting itu sedemikian terencananya dan sudah dicanangkan untuk dapat melayani obyek yang berada di dalamnya. Perilaku individu yang menggunakannya dalam kontek sosial menunjukkan guna/fungsi dari ruangan itu sekaligus menunjukkan bagaimana cara menggunakannya dan apa yang tak mungkin dapat dilakukan disitu. Untuk tujuan analisa, perlu dirumuskan efek apa yang merubah perilaku manusia dalam setting fisik tertentu. Tentu saja tidak hanya fisikal semata karena perlu memperhitungkan kondisis sosial, administrative dan fisikologikal.

Sejumlah perilaku yang berlangsung bukan hanya dalam hubungan dengan perabot yang baru saja namun juga dengan ‘makna’ sehubungan dengan perilakunya tersebut. Misalnya penataan perabot baru mengartikan bahwa yang punya ruang menginginkan tersebut terpakai atau para tamu tergugah datang di situ karena perabot dan tatanannya yang baru. Dalam beberapa kenyataan asumsi harus dinyatakan dengan terbuka, dengan sistem yang dinamis, tidak terbatasi oleh ruang dan waktu yang secara menerus berlanjut dan berubah.

No comments:

Post a Comment